Menjadi Presiden Selama 32 Tahun
Oleh Arifah Nur Hasanah XII IPA 4
Pernah membayangkan jika Anda menjadi ketua
kelas di kelas yang sama selama 32 tahun berturut-turut? Pernahkah Anda
membayangkan akan menjadi ketua OSIS di sekolah yang sama selama 32 periode
kepengurusan? Saya taksir Anda akan lelah bahkan dalam menghadapi
bawahan-bawahan Anda yang semakin lama semakin jauh lebih muda. Meski tidak diragukan
lagi bahwa Anda akan dengan mudah dianggap sebagai ketua kelas dan ketua OSIS
terhebat di beberapa masa, namun Anda akan kesulitan untuk mempertahankan
kemaslahatan organisasi itu sendiri.
Sebuah organisasi terdiri dari berbagai
macam struktur yang di dalamnya terdapat banyak sumber daya manusia menurut
berbagai bidang spesialisasinya. Setiap orang bekerja dalam urusannya
masing-masing untuk saling bekerja sama mencapai tujuan, visi, dan misi
organisasi tersebut. Jika setiap tangan bekerja untuk kepentingan sendiri dan
tidak saling mendukung, maka organisasi itu tidak akan bertahan lama.
Pemerintahan Orde Baru adalah salah satu
contoh organisasi tua di negeri kita. Meskipun pergantian kabinet dilakukan
setiap 5 tahun sekali, namun beberapa struktur di dalamnya tidak berubah bahkan
sendi utama dalam organisasi tersebut, yakni Pak Harto yang menjabat sebagai sebagai
presiden Republik Indonesia. Maka kiranya, tak salah jika kita anggap
kabinet-kabinet dalam 7 periode pemerintahan Pak Harto ini sebagai sebuah
kesatuan organisasi yang utuh dengan satu visi sama, mencapai kesejahteraan
masyarakat Indonesia ala Orde Baru.
Namun, ternyata keadaan seperti ini
memunculkan sesuatu yang semestinya tidak terjadi dalam pemerintahan, apalagi
negara kita terhitung masih berusia belia. Yakni seperti dikutip dari
wikipedia.org: “menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit
penyakit Asal Bapak Senang, hal ini merupakan kesalahan paling fatal Orde Baru
karena tanpa birokrasi yang efektif sebuah negara pasti hancur”.
Istilah “Asal Bapak Senang” atau disingkat
ABS ini mengacu pada hubungan politik Pak Harto dengan para menteri dan
bawahan-bawahannya. Perbedaan usia yang makin lama makin signifikan antara Pak
Harto dan bawahannya inilah pemicunya. Mungkin di awal kepemimpinan Pak Harto,
hubungan keduanya berjalan harmonis seperti sahabat dekat karena tidak ada
jelang usia yang cukup kentara. Yakni pada Kabinet Pembangunan I dan II,
perbedaan usia hanya beberapa tahun saja.
Berjalan selama 32 tahun, hanya Pak Harto
dan sebagian kecil orang yang bertahan dalam struktur pemerintahan Orde Baru.
Jika sang pemimpin bertambah umurnya 32 tahun, kemudian para menterinya masih muda-muda,
jarak usia antara mereka akan jauh sekali. Karena itu, hubungan presiden dengan
para menterinya tidak lagi sebagai sahabat dekat dan sebaya. Ada kecenderungan
para menteri melihat beliau sebagai seorang pemimpin yang perlu diladeni. Singkatnya,
lahir semacam sikap ABS tersebut di kalangan orang-orang yang seharusnya dekat
dengan Pak Harto. Hal ini, menurut Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup pada
masa Orde Baru, adalah yang terkadang menyebabkan Pak Harto tidak mendapatkan the
full truth (kebenaran yang penuh) mengenai keadaan yang terjadi.
Pada suatu ketika, Pak Harto menyampaikan
pidato dalam sidang DPR agar pemerintah tidak melakukan devaluasi rupiah. Saat
itu, masalah devaluasi menjadi masalah politik negeri. Jadi, persoalan tersebut
beliau sampaikan dalam salah satu pidato politiknya. Namun, beberapa bulan
kemudian, keadaan ekonomi dunia berubah.
Karena perubahan itu, devisa turun dan
neraca pembayaran pun menjadi tidak seimbang alias berkurang. Akibatnya, nilai rupiah
lebih rendah terhadap dolar AS dan orang-orang akan berbondong-bondong membeli
dolar dengan rupiah. Kalang kabutlah pemerintahan Indonesia. Untuk itu
devaluasi harus dilakukan, tapi celakanya pihak pemerintah yang berwenang tidak
berani melakukannya karena janji presiden untuk tidak melakukan devaluasi pada sidang DPR silam. Di sisi lain, mereka
berpendapat jika tetap diteruskan seperti ini, babak belurlah negara Indonesia.
Maka dari itu, mereka memutuskan untuk
menghadap Pak Harto mengenai persoalan ini. Mereka menjelaskan semuanya,
termasuk pilihan-pilihan kebijakan yang ada. Mereka berkata bahwa salah satu
pilihannya adalah devaluasi.
Kemudian beliau bertanya, ''Mengapa
begini?"
Mereka menjawab, ''Untuk devaluasi,
masalahnya karena Bapak beberapa waktu lalu yang menjanjikan secara resmi
kepada DPR untuk tidak mendevaluasi.”
''Lho, apa hanya karena saya berjanji, lantas
negara jadi korban? Ya, tidak bisa begitu," tutur Pak Harto kemudian.
Pak Harto juga menyatakan bahwa jika beliau
keliru, wajib untuk memberitahukan kekeliruan sekecil apapun itu kepada beliau.
Dari sini bisa dilihat bahwa Pak Harto mengambil keputusan berdasarkan
informasi yang diterima dari para menteri dan aparat pemerintah lainnya. Jika
informasi yang disampaikan salah atau tidak lengkap, keputusan yang diambil juga
jadi salah.
Struktur pemerintahan pada zaman itu
tertata rapi di awal, namun semakin lama semakin rapuh dan salah kaprah. Antara
lain disebabkan karena adanya budaya ABS di kalangan “pembantu-pembantu”
presiden dalam memegang tampuk pemerintahan negara. Jika ada masalah, baik itu
di dalam maupun luar negeri, terkadang pemaparannya tidak lengkap serta kurang
jujur dan pengusulan langkah-langkah kebijakan pun sangat kurang. Padahal masalah
yang dihadapi Pak Harto sangatlah banyak baik itu dari dalam maupun luar
negeri. Sendirian berjuang adalah hal yang mustahil bisa dilakukan dengan
maksimal. Sehingga, informasi-informasi yang diberikan oleh para menteri sangat
vital artinya bagi Pak Harto dalam memecahkan masalah negeri.
Di akhir-akhir masa Orde Baru, hal-hal
kecil seperti ini banyak terjadi. Para menteri sering tidak lengkap dalam
memaparkan masalah yang harus diselesaikan. Langkah-langkah yang diambil
kebanyakan berorientasi pada pemikiran jangka pendek. Dalam penyampaiannya,
persoalan jangka panjang seolah-olah terdesak oleh kepentingan jangka pendek.
Hal ini menyebabkan, kabar-kabar yang sampai di meja presiden terpengaruh oleh
menteri yang lebih melihat satu
kepentingan jangka pendek, pandangannya sendiri, dan kepentingan kelompoknya. Akhirnya,
kepentingan jangka panjang dan rakyat dikesampingkan. Dan berubahlah peta
pengambilan keputusan itu.
Menjadi pembantu presiden itu seharusnya
bersikap jujur, mampu memberikan semua pilihan, tidak main politik sendiri, dan
tidak “buang badan” jika terjadi sesuatu.
Namun, yang terjadi di akhir-akhir masa
Orde Baru adalah sebaliknya. Saat perekonomian Indonesia mulai tampak jatuh dan
krisis semakin merajalela, banyak
menteri yang mengundurkan diri dengan hanya memikirkan keselamatan diri
dan keluarganya. Sungguh naif, negeri saat itu sedang dalam masa kritisnya,
namun siapa peduli? Menteri-menteri itu malah pergi mengurusi dirinya sendiri.
Bahkan Pak Harto pun mengundurkan diri dan menunjuk B.J. Habibie yang saat itu
menjadi wapres untuk menggantikan posisinya.
Pak Habibie mewarisi kondisi kacau balau
pasca pengunduran diri Pak Harto akibat salah urus pada masa Orde Baru. Keran
kebebasan dibuka. Semua orang boleh berbicara. Demokrasi yang sesungguhnya
untuk Indonesia telah diterapkan oleh Pak Habibie. Namun, yang terjadi adalah protes,
kecaman, dan ancaman rakyat kepada pemerintah bermunculan di setiap sudut
negeri. Hingga puncaknya pada tuntutan reformasi tahun 1998 yang menandakan berakhirnya
masa Orde Baru dalam sejarah negara Republik Indonesia.
Kesimpulannya, kepemimpinan yang terlalu
lama menyimpan kelebihan dan kekurangannya sendiri. Dan dalam kasus Pak Harto,
kekurangan memenangkan laga dalam mempertahankan Indonesia Sang Macan Asia.
Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, seperti yang telah difirmankan
oleh-Nya dalam Al-Qur’an Al-Karim. Oleh karena itu, sungguh bijak jika kita
mengambil hikmah dari sejarah tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Pak Habibie
sekaligus dalam menjawab tuntutan
reformasi. Yakni dengan dibuatnya Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang Pembatasan
masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal hanya dua kali periode.
Bangsa yang baik adalah ia yang belajar
dari sejarah negaranya sendiri. Ayo kita tinggalkan segala bentuk
berlebih-lebihan dalam segala sesuatu kecuali dalam memberi dan berbagi!