Jumat, 16 November 2012

kisah ini buat kamu

SELAMA INI BUKAN DIA

“Ayolah.”
“Diam!”
“Lho? Kenapa tiba-tiba kau marah?”
“Diamlah! Aku pusing, nih!”
“Baiklah.” Aku pergi. Sesungguhnya MD orang yang baik, hanya sedikit galak saja. Tabiat buruk yang langsung aku tahu sejak awal mengenalnya.
Kuputuskan untuk meninggalkan MD seorang diri. Dia pasti butuh waktu untuk merenungi semua itu. Dedaunan kering melambai lembut mengiringi langkahku. Angin-angin ini mebuatku khawatir kelilipan saking kencangnya. Kulihat, awan hitam itu menggantung santai di atas genteng sekolah. Menemani MD yang bergumul resah dan marah sejak siang tadi.
Apa masalahnya?
Aku belum tahu. MD selalu begitu.
Kami berdua dipertemukan alam di sebuah sekolah tingkat atas ibu kota. Tempatnya luas, rindang, dan begitu alam. Amat angker kalo bisa dibilang. Banyak sekali sudut-sudut teduh yang sunyi di sekolah ini. Jika sedang mendung begini, sekolah kami terasa sangat sepi. Cerita magis yang banyak beredar, seolah memang kenyataan.
Namun, kami bukan orang bodoh yang lantas ketakutan dengan keangkeran sekolah kami. Siswa-siswi disini amat mengerti bahwa makhluk halus itu ada, hidup berdampingan bersama manusia pula. Guru agama kami sering bilang, dan kami faham, dimensi kita berbeda. Hanya manusia-manusia pilihan yang bisa melihat keberadaan makhluk-mahkluk itu. Dan guru agama kami salah satunya.
Lupakan soal seram! Karena sekolah ini, sungguh sangat menyenangkan. Sekolah berasrama yang menjunjung tinggi nilai ilmu pengetahuan, teknologi, dan agama siswa. Mendukung kreatifitas pribadi secara penuh dengan semua ekskul dan organisasi-organisasi siswa di dalamnya. Guru-guru yang ramah dan bijaksana, penuh humor dan selera muda, mengerti sekali apa mau murid-muridnya. Membentuk kesatuan keluarga yang dengan bangga kami namai MAN Insan Cendekia, sebuah sekolah yang amat dihargai oleh negeri kami, Indonesia Raya.
Dulu, tanah yang kami pijak ini hanya berupa genangan rawa. Dan kabarnya, rawa itu adalah tempat para jin membuang anak mereka. Seram, ya? Tapi sekarang, kawasan ini berubah menjadi sarana bagi para orang tua untuk membuang anak-anak mereka yang cerdas dan penuh kreatifitas. Hehe. Seperti aku dan MD. Anak-anak baik dari desa yang harus memikul tugas berat negara untuk belajar di ibu kota. Jauh-jauh meninggalkan sanak saudara di kampung permai nun di ujung sana. Jauh-jauh dari kawan lama yang setia dan selalu bersama. Jauh-jauh melepaskan ketentraman hidup serumah dengan orang tua.
Karena kami anak-anak beasiswa, maka orang tua kami bangga hingga berkurang pula beban mereka. Sebagai tanda bakti, kami pun pura-pura siap memikul beban berat itu. Belajar lebih keras, dengan uang yang dipinjami negara untuk belajar kami mengabdi pada bangsa ini. Demi orang tua kami. Demi hidup dan mati bangsa negara ini.
“Ri!”, sepertinya MD memanggilku.
Kubalik badanku dan kulihat tempat MD kutinggalkan tadi. Dia tidak sana. Malah sedang berlari ke arahku dengan senyuman riangnya. Sungguh kontras dengan suasana hatinya barusan. MD selalu begitu. Sering marah tanpa sebab, tapi cepat redanya. Dan tak seorang pun pernah tahu alasan-alasan kemarahannya.
“Mau pulang bersamaku? Biar kuantar sampai depan asramamu.”, katanya menawarkan hal yang selalu ia lakukan setiap kami pulang bersama.
“Silahkan.”
Perjalanan pulang kami sempurna sunyi. Dia tidak membuka obrolan dan aku juga tidak punya pertanyaan untuk dilontarkan. Selalu begitu. MD hanya akan berbincang jika kami sedang duduk di kelas, di kantin, di perpustakaan, atau di mana saja. Tapi bukan saat berjalan pulang.
Kulihat darah menetes di aspal tempat aku dan MD berlalu. Begitu merah dan menakutkanku yang phobia dengan yang satu itu.
“Darah, Di!”, seruku hampir memeluk tubuh tegapnya. Untung saja aku ingat, memeluk dia sama saja melanggar aturan agama. Bisa fatal akibatnya.
MD masih diam. Sedikit panik lalu berkata, “Mana darah, Ri? Itu hanya halusinasimu saja.” Dan benar, sudah tidak ada bekasnya. Mungkin memang imajinasiku saja yang berlebihan.
Mendung ini semakin aneh. Aku merinding, apalagi melihat raut di wajah MD. “Kenapa pucat sekali, Di? Kamu sakit, ya? Tadi siang masih baik-baik saja, kok..” kataku sambil sejenak memperhatikannya.
MD memalingkan muka. “Jangan melihatku seperti itu. Risih, tau!”
“Baiklah.” Kami telah sampai di pertigaan depan asramaku. “Duluan, ya! Sampai besok.”, kataku lalu melangkah meninggalkannya.
Asrama MD terletak persis sebelum pertigaan menuju asramaku berada. Begitu kami berpisah di pertigaan, dia akan tetap di sana hingga aku benar-benar masuk asrama. Lalu berbalik arah dan masuk ke asramanya.MD selalu begitu. Seolah-olah, sebenarnya ia ingin mengantarku sampai depan pintu. Tapi itu tidak mungkin. Jalan menuju asramaku itu adalah jalur khusus putri.
Begitulah. Jalanan di sekolah kami ini sudah dibagi oleh pihak atasan, mana jalur putra, mana jalur putri, dan mana jalur putra-putri. Dan sama sekali tak boleh dilanggar. Atau tanggung sendiri konsekuensinya. Kecuali jika sungai seberang sekolah meluap, jalanan khusus putri di belakang masjid yang tergenang berbahaya untuk dilewati. Saat itulah, jalur putra berubah fungsi jadi jalur putra-putri.
Esok sore, aku melihat darah menetes lagi di tempat yang aku dan MD barusan lewati. Begitu juga esok lusanya. Hal yang sama terulang lagi. Saat kami mengurus green house sekolah, aku mulai berhenti percaya bahwa itu hanya halusinasi. Tapi MD terus membantahku.
“Ah, Ri! Nggak usah ngaco kamu. Mau nakut-nakutin aku ya?”, wajah MD pias seketika. Aduh, setahuku dia anak yang pemberani. Kenapa rautnya ketakutan sekali?
Green house sepi. Hanya kami berdua di dalam. Kulihat MD kembali mengamati pohon belimbing yang seminggu lalu ia tanam disini.
“Gimana mau nakut-nakutin? Aku bahkan lebih penakut daripada kamu, Di. Kamu kan tau sendiri, kalo sama darah aku agak sensi.”, kataku. Berusaha menjelaskan. Kali ini, aku harap ia mau menenangkanku.
“Sudahlah. Kita pulang saja, Ri! Kayaknya kamu termakan suasana sepi disini, deh.”, ajaknya seraya membereskan pot belimbingnya. Mengembalikannya ke tempat semula ia diletakkan.
“Baiklah.” Aku menurut. Kubereskan pekerjaanku dan tiba-tiba, merindinglah aku. Tidak salah lagi, dengan jelas sekali aku mendengar suara desisan anjing tepat di belakangku. Ku balik badanku, namun tak kutemukan sesuatu apapun berada disitu.
“Di..”, kataku ketakutan.
“Apa lagi, Ri?”, ucapnya menenangkan.
“Aku mendengar suara anjing mendesis barusan. Menyeramkan.”, jawabku dengan nyali yang mulai menciut. Aku benar-benar takut.
“Lagi, lagi. Ckck.”Sepertinya MD mulai kesal.
“Aku serius, Di! Kali ini bukan halusinasi.”, kataku ngotot. Memaksanya untuk sedikit saja percaya dengan diriku sekarang.
“Kamu sakit, Ri!” Sungguh. Dia menyebalkan sekali sore ini. Temannya ketakutan disini.
“Kamu yang sakit.”, kataku kesal.“Mukamu kenapa pucat sekali?” Sekali lagi. Muka pucat disaat aku ketakutan seperti ini.
Tiba-tiba, MD memegangi lehernya. Kulihat urat nadinya merangsek mau keluar semua. Sungguh menyeramkan. Dua buah taring yang amat besar, seketika tumbuh menembus bibirnya. Benar-benar panjang dan tajam. Ia tampak sangat kesakitan, seperti menahan sebuah kemauan yang besar.
Kemauan untuk membunuh! Seperti vampire. Dan amat menggebu-gebu. Pandangannya mengilat tajam ke arahku. Sebentar MD berhasil berpaling, sebentar kemudian kembali menatapku nafsu.
Petir menggelegar. Aduh, mana mendungnya? Kenapa tiba-tiba pertir? Ibu... Ri takut. Suasana semakin tidak menyenangkan. Posisiku kini sudah tidak aman. Namun bodohnya, kakiku seperti terpaku kuat di situ. Memandangi MD dengan berbagai pembenaran. MD tak akan membunuh sahabatnya sendiri, bukan?
MD terus mendekat. Selangkah demi selangkah hingga ia berada satu meter tepat di depan mataku. Aku hanya bisu. Kebas sudah rasa takut di hatiku. Tak tega melihatnya bertarung melawan entah makhluk apa yang masuk ke tubuh misteriusnya itu.
“La..ri.., Ri! Ce..pat.”, desaknya terbata-bata. Sembari menahan kemauan aneh yang merasuki jiwa yang kukenal amat tenang itu.
Aku hanya menggigit bibir. Jika aku meninggalkannya disini, bisa jadi esok lusa kami tak bisa bertemu lagi. Mimpi terburuk jika hal itu harus terjadi. Tak terbayang betapa menderitanya aku jika harus hidup tanpa melihat MD walau hanya sehari. Dan sungguh betapa setianya janji Tuhan, tiba-tiba guru agamaku datang. Beliau baru mau pulang dan merasakan suatu keganjilan dari arah green house sekolah ini.
Kejadiannya begitu cepat. MD jatuh pingsan ketika tangannya berhasil mencengkeram tanganku dan meninggalkan luka cakar. Aku kesakitan. Namun lega karena makhluk aneh entah apa itu telah meninggalkan MD yang dari tadi ia permainkan.
“Kamu baik-baik saja, Ri?!”, tanya Pak Guru Spiritual dengan penuh kekhawatiran.
Mengangguk. Hanya itu yang sanggup aku lakukan. Apa yang baru saja terjadi? Kejadian ini sungguh diluar logika. Ibu.. Ri bingung sekali.
Ku hempaskan tubuhku. Memandangi Pak Guru Spiritual mengecek organ tubuh MD satu demi satu. Taring itu telah hilang. Kuku panjang yang tadi digunakan untuk mencakarku juga sudah tak ada. Urat-urat di lehernya, masuk lagi ke dalam tubuhnya. Dan muka pucat itu, telah meninggalkan wajahnya. MD pun terbangun dari pingsannya.
MD dirasuki sesuatu, sebut saja vampire. Penjelasan sederhana yang aku terima dari Pak Guru Spiritual esok lusa. Tokoh hantu yang selama ini ku kira fiksi semata itu, rupanya benar-benar ada. Mereka butuh darah manusia untuk balas dendam. Tapi aku kurang faham kenapa.
Pantas saja selama ini MD sering diam. Sering marah. Sering temperamental. Itu semua bukan dirinya. Tapi setan yang telah lama menyelusup di relung jiwanya. Karena sejak hari itu, MD tak pernah marah-marah tanpa alasan lagi. MD yang lebih alim dan agamis, sekarang malah aktif dalam kegiatan kerohanian di sekolah.
Sial sekali. Aku bahkan kehilangan waktu berdua bersamanya, sama sekali hilang. Katanya ia taubat. Ia sadar bahwa tidak baik kalau sering berdua-duaan.
“Agama melarangnya, Ri! Kamu kan tau itu.”, katanya bijak menjelaskan.
Aku hanya cemberut saja. Penjelasan itu sungguh tak memuaskan bagiku yang hanya ingin meminta sedikit waktunya. Meminta hubungan kami kembali seperti dulu kala.
Namun, ia tetap pada prinsip menyebalkannya. Vampire itu telah sempurna merubahnya. Memaksaku rela melepas waktu-waktu indah bersamanya. Biarlah persahabatan kami menjadi kenangan semata. Biar saja.
Hingga akhirnya aku faham. Pengorbanan selalu dibutuhkan demi sebuah kebaikan. Daripada melihatnya menderita dirasuki vampire­ seperti saat di green house dulu, lebih baik aku turuti saja kemauannya. Tidak apa-apa. Masalah ini sederhana saja. Cukup sebuah pengorbanan demi sahabat dan aku. Sahabat dan aku. Kami.

#ditulis sebagai tugas bahasa indonesia

november 2012

2 komentar: