SELAMA
INI BUKAN DIA
“Ayolah.”
“Diam!”
“Lho?
Kenapa tiba-tiba kau marah?”
“Diamlah!
Aku pusing, nih!”
“Baiklah.”
Aku pergi. Sesungguhnya MD orang yang baik, hanya sedikit galak saja. Tabiat
buruk yang langsung aku tahu sejak awal mengenalnya.
Kuputuskan
untuk meninggalkan MD seorang diri. Dia pasti butuh waktu untuk merenungi semua
itu. Dedaunan kering melambai lembut mengiringi langkahku. Angin-angin ini
mebuatku khawatir kelilipan saking kencangnya. Kulihat, awan hitam itu
menggantung santai di atas genteng sekolah. Menemani MD yang bergumul resah dan
marah sejak siang tadi.
Apa
masalahnya?
Aku belum
tahu. MD selalu begitu.
Kami berdua
dipertemukan alam di sebuah sekolah tingkat atas ibu kota. Tempatnya luas, rindang,
dan begitu alam. Amat angker kalo bisa dibilang. Banyak sekali sudut-sudut teduh
yang sunyi di sekolah ini. Jika sedang mendung begini, sekolah kami terasa
sangat sepi. Cerita magis yang banyak beredar, seolah memang kenyataan.
Namun, kami
bukan orang bodoh yang lantas ketakutan dengan keangkeran sekolah kami.
Siswa-siswi disini amat mengerti bahwa makhluk halus itu ada, hidup
berdampingan bersama manusia pula. Guru agama kami sering bilang, dan kami
faham, dimensi kita berbeda. Hanya manusia-manusia pilihan yang bisa melihat keberadaan
makhluk-mahkluk itu. Dan guru agama kami salah satunya.
Lupakan soal
seram! Karena sekolah ini, sungguh sangat menyenangkan. Sekolah berasrama yang
menjunjung tinggi nilai ilmu pengetahuan, teknologi, dan agama siswa. Mendukung
kreatifitas pribadi secara penuh dengan semua ekskul dan organisasi-organisasi
siswa di dalamnya. Guru-guru yang ramah dan bijaksana, penuh humor dan selera
muda, mengerti sekali apa mau murid-muridnya. Membentuk kesatuan keluarga yang
dengan bangga kami namai MAN Insan Cendekia, sebuah sekolah yang amat dihargai
oleh negeri kami, Indonesia Raya.
Dulu, tanah
yang kami pijak ini hanya berupa genangan rawa. Dan kabarnya, rawa itu adalah
tempat para jin membuang anak mereka. Seram, ya? Tapi sekarang, kawasan ini berubah
menjadi sarana bagi para orang tua untuk membuang anak-anak mereka yang cerdas
dan penuh kreatifitas. Hehe. Seperti aku dan MD. Anak-anak baik dari desa
yang harus memikul tugas berat negara untuk belajar di ibu kota. Jauh-jauh
meninggalkan sanak saudara di kampung permai nun di ujung sana. Jauh-jauh dari
kawan lama yang setia dan selalu bersama. Jauh-jauh melepaskan ketentraman
hidup serumah dengan orang tua.
Karena kami
anak-anak beasiswa, maka orang tua kami bangga hingga berkurang pula beban
mereka. Sebagai tanda bakti, kami pun pura-pura siap memikul beban berat itu.
Belajar lebih keras, dengan uang yang dipinjami negara untuk belajar kami
mengabdi pada bangsa ini. Demi orang tua kami. Demi hidup dan mati bangsa
negara ini.
“Ri!”,
sepertinya MD memanggilku.
Kubalik
badanku dan kulihat tempat MD kutinggalkan tadi. Dia tidak sana. Malah sedang
berlari ke arahku dengan senyuman riangnya. Sungguh kontras dengan suasana
hatinya barusan. MD selalu begitu. Sering marah tanpa sebab, tapi cepat
redanya. Dan tak seorang pun pernah tahu alasan-alasan kemarahannya.
“Mau pulang
bersamaku? Biar kuantar sampai depan asramamu.”, katanya menawarkan hal yang
selalu ia lakukan setiap kami pulang bersama.
“Silahkan.”
Perjalanan
pulang kami sempurna sunyi. Dia tidak membuka obrolan dan aku juga tidak punya
pertanyaan untuk dilontarkan. Selalu begitu. MD hanya akan berbincang jika kami
sedang duduk di kelas, di kantin, di perpustakaan, atau di mana saja. Tapi
bukan saat berjalan pulang.
Kulihat
darah menetes di aspal tempat aku dan MD berlalu. Begitu merah dan menakutkanku
yang phobia dengan yang satu itu.
“Darah,
Di!”, seruku hampir memeluk tubuh tegapnya. Untung saja aku ingat, memeluk dia
sama saja melanggar aturan agama. Bisa fatal akibatnya.
MD masih
diam. Sedikit panik lalu berkata, “Mana darah, Ri? Itu hanya halusinasimu
saja.” Dan benar, sudah tidak ada bekasnya. Mungkin memang imajinasiku saja
yang berlebihan.
Mendung ini semakin aneh. Aku merinding, apalagi melihat raut di wajah MD. “Kenapa
pucat sekali, Di? Kamu sakit, ya? Tadi siang masih baik-baik saja, kok..” kataku sambil sejenak memperhatikannya.
MD
memalingkan muka. “Jangan melihatku seperti itu. Risih, tau!”
“Baiklah.”
Kami telah sampai di pertigaan depan asramaku. “Duluan, ya! Sampai besok.”,
kataku lalu melangkah meninggalkannya.
Asrama MD
terletak persis sebelum pertigaan menuju asramaku berada. Begitu kami berpisah
di pertigaan, dia akan tetap di sana hingga aku benar-benar masuk asrama. Lalu
berbalik arah dan masuk ke asramanya.MD selalu begitu. Seolah-olah, sebenarnya
ia ingin mengantarku sampai depan pintu. Tapi itu tidak mungkin. Jalan menuju
asramaku itu adalah jalur khusus putri.
Begitulah.
Jalanan di sekolah kami ini sudah dibagi oleh pihak atasan, mana jalur putra,
mana jalur putri, dan mana jalur putra-putri. Dan sama sekali tak boleh
dilanggar. Atau tanggung sendiri konsekuensinya. Kecuali jika sungai seberang
sekolah meluap, jalanan khusus putri di belakang masjid yang tergenang
berbahaya untuk dilewati. Saat itulah, jalur putra berubah fungsi jadi jalur
putra-putri.
Esok sore,
aku melihat darah menetes lagi di tempat yang aku dan MD barusan lewati. Begitu
juga esok lusanya. Hal yang sama terulang lagi. Saat kami mengurus green
house sekolah, aku mulai berhenti percaya bahwa itu hanya halusinasi. Tapi
MD terus membantahku.
“Ah, Ri!
Nggak usah ngaco kamu. Mau nakut-nakutin aku ya?”, wajah MD pias seketika.
Aduh, setahuku dia anak yang pemberani. Kenapa rautnya ketakutan sekali?
Green
house
sepi. Hanya kami berdua di dalam. Kulihat MD kembali mengamati pohon belimbing
yang seminggu lalu ia tanam disini.
“Gimana mau
nakut-nakutin? Aku bahkan lebih penakut daripada kamu, Di. Kamu kan tau
sendiri, kalo sama darah aku agak sensi.”, kataku. Berusaha menjelaskan. Kali
ini, aku harap ia mau menenangkanku.
“Sudahlah.
Kita pulang saja, Ri! Kayaknya kamu termakan suasana sepi disini, deh.”,
ajaknya seraya membereskan pot belimbingnya. Mengembalikannya ke tempat semula
ia diletakkan.
“Baiklah.”
Aku menurut. Kubereskan pekerjaanku dan tiba-tiba, merindinglah aku. Tidak
salah lagi, dengan jelas sekali aku mendengar suara desisan anjing tepat di
belakangku. Ku balik badanku, namun tak kutemukan sesuatu apapun berada disitu.
“Di..”,
kataku ketakutan.
“Apa lagi,
Ri?”, ucapnya menenangkan.
“Aku mendengar
suara anjing mendesis barusan. Menyeramkan.”, jawabku dengan nyali yang mulai
menciut. Aku benar-benar takut.
“Lagi,
lagi. Ckck.”Sepertinya MD mulai kesal.
“Aku
serius, Di! Kali ini bukan halusinasi.”, kataku ngotot. Memaksanya untuk
sedikit saja percaya dengan diriku sekarang.
“Kamu
sakit, Ri!” Sungguh. Dia menyebalkan sekali sore ini. Temannya ketakutan
disini.
“Kamu yang
sakit.”, kataku kesal.“Mukamu kenapa pucat sekali?” Sekali lagi. Muka pucat
disaat aku ketakutan seperti ini.
Tiba-tiba, MD
memegangi lehernya. Kulihat urat nadinya merangsek mau keluar semua. Sungguh
menyeramkan. Dua buah taring yang amat besar, seketika tumbuh menembus
bibirnya. Benar-benar panjang dan tajam. Ia tampak sangat kesakitan, seperti
menahan sebuah kemauan yang besar.
Kemauan untuk
membunuh! Seperti vampire. Dan amat menggebu-gebu. Pandangannya mengilat
tajam ke arahku. Sebentar MD berhasil berpaling, sebentar kemudian kembali
menatapku nafsu.
Petir
menggelegar. Aduh, mana mendungnya? Kenapa tiba-tiba pertir? Ibu... Ri
takut. Suasana semakin tidak menyenangkan. Posisiku kini sudah tidak aman. Namun
bodohnya, kakiku seperti terpaku kuat di situ. Memandangi MD dengan berbagai
pembenaran. MD tak akan membunuh sahabatnya sendiri, bukan?
MD terus
mendekat. Selangkah demi selangkah hingga ia berada satu meter tepat di depan
mataku. Aku hanya bisu. Kebas sudah rasa takut di hatiku. Tak tega melihatnya
bertarung melawan entah makhluk apa yang masuk ke tubuh misteriusnya itu.
“La..ri..,
Ri! Ce..pat.”, desaknya terbata-bata. Sembari menahan kemauan aneh yang
merasuki jiwa yang kukenal amat tenang itu.
Aku hanya
menggigit bibir. Jika aku meninggalkannya disini, bisa jadi esok lusa kami tak
bisa bertemu lagi. Mimpi terburuk jika hal itu harus terjadi. Tak terbayang
betapa menderitanya aku jika harus hidup tanpa melihat MD walau hanya sehari.
Dan sungguh betapa setianya janji Tuhan, tiba-tiba guru agamaku datang. Beliau
baru mau pulang dan merasakan suatu keganjilan dari arah green house sekolah
ini.
Kejadiannya
begitu cepat. MD jatuh pingsan ketika tangannya berhasil mencengkeram tanganku
dan meninggalkan luka cakar. Aku kesakitan. Namun lega karena makhluk aneh
entah apa itu telah meninggalkan MD yang dari tadi ia permainkan.
“Kamu
baik-baik saja, Ri?!”, tanya Pak Guru Spiritual dengan penuh kekhawatiran.
Mengangguk.
Hanya itu yang sanggup aku lakukan. Apa yang baru saja terjadi? Kejadian ini
sungguh diluar logika. Ibu.. Ri bingung sekali.
Ku
hempaskan tubuhku. Memandangi Pak Guru Spiritual mengecek organ tubuh MD satu demi
satu. Taring itu telah hilang. Kuku panjang yang tadi digunakan untuk
mencakarku juga sudah tak ada. Urat-urat di lehernya, masuk lagi ke dalam
tubuhnya. Dan muka pucat itu, telah meninggalkan wajahnya. MD pun terbangun
dari pingsannya.
MD dirasuki
sesuatu, sebut saja vampire. Penjelasan sederhana yang aku terima dari
Pak Guru Spiritual esok lusa. Tokoh hantu yang selama ini ku kira fiksi semata
itu, rupanya benar-benar ada. Mereka butuh darah manusia untuk balas dendam. Tapi
aku kurang faham kenapa.
Pantas saja
selama ini MD sering diam. Sering marah. Sering temperamental. Itu semua bukan
dirinya. Tapi setan yang telah lama menyelusup di relung jiwanya. Karena sejak
hari itu, MD tak pernah marah-marah tanpa alasan lagi. MD
yang lebih alim dan agamis, sekarang malah aktif dalam kegiatan kerohanian di
sekolah.
Sial
sekali. Aku bahkan kehilangan waktu berdua bersamanya, sama sekali hilang.
Katanya ia taubat. Ia sadar bahwa tidak baik kalau sering berdua-duaan.
“Agama
melarangnya, Ri! Kamu kan tau itu.”, katanya bijak menjelaskan.
Aku hanya
cemberut saja. Penjelasan itu sungguh tak memuaskan bagiku yang hanya ingin
meminta sedikit waktunya. Meminta hubungan kami kembali seperti dulu kala.
Namun, ia
tetap pada prinsip menyebalkannya. Vampire itu telah sempurna
merubahnya. Memaksaku rela melepas waktu-waktu indah bersamanya. Biarlah
persahabatan kami menjadi kenangan semata. Biar saja.
Hingga
akhirnya aku faham. Pengorbanan selalu dibutuhkan demi sebuah kebaikan. Daripada
melihatnya menderita dirasuki vampire seperti saat di green house dulu,
lebih baik aku turuti saja kemauannya. Tidak apa-apa. Masalah ini sederhana
saja. Cukup sebuah pengorbanan demi sahabat dan aku. Sahabat dan aku. Kami.
#ditulis sebagai tugas bahasa indonesia
hahaha fah, kukira cerita beneran. hahaha.
BalasHapusgreen house nya memang beneran kok it ^^ hihi
Hapus