Sabtu, 20 Oktober 2018

#mentalhealth Am I depressed?

Feeling uneasy, can't stop questioning why i'm not moving any where. Being stuck in my room for several days, didn't have any energy to say hi even to my roommate who I always meet every night.

Didn't have any appetites. I didn't have any plans.  But I'm grateful that I still breath, still can see every beauty from this world, the sky, the nature, the road, and the beautiful me. Mwehehe.

But, maybe, am I alone?

There's no one I can tell them about my worry. No one I can cry on their shoulder. No one I can share them all my opinion. I was afraid. Always feeling this was all frightened. Every morning seems cold. Every night seems so hard.

I need home. I need my mom, my dad, and my brother or sister. I just think that I couldn't go on my life again. I need to stop, to breath slower, to breath deeper. To think again what I'm gonna do later. To make my life happier.

Rabu, 10 Oktober 2018

#coasslife Pasien Pengabdian

Kali ini aku mau bercerita tentang pasien kasus ujianku di stase penyakit dalam. Seorang bapak, usianya 64 th, sebut saja Pak M.

Kenapa ku sebut pasien pengabdian, karena pengabdiannya terhadap ujianku lumayan, pengorbanannya yang begitu besar. Pak M. sebetulnya sudah dari awal menyadari bahwa dirinya menjadi pasien ujianku, kasarnya sih dibuat percobaan oleh seorang sarjana kedokteran bodoh yg sedang menimba ilmu di keprofesian. Kebetulan, Pak M. lah yang "beruntung" yang ditunjuk oleh dokter pembimbingku untuk menjadi pasien ujianku. Namun, qadarullah Pak M. tetap bersedia dan begitu sabar selama pemeriksaan oleh koas lamban seperti aku. Hehe.

Kata dokter konsulenku waktu itu, "Pak M., setelah ini kita diskusi di poli ya sama dokter mudanya. Nanti dokter mudanya yang periksa." Sambil bersalaman dengan Pak M. Aku pun tersenyum lebar (lebih karena kaget karena mendapatkan kasus yang sulit) dan memperkenalkan diriku kepada Pak M dan istrinya yang bercadar. Alamak, aku tak enak pada istrinya karena setelah ini aku bakal pegang2 Pak M. yang bukan mukhrimku, dan istrinya tahu akan hal itu.

Ujianku dimulai pukul 8 pagi. Aku, saat itu mencoba melemaskan diri dengan wawancara terlebih dahulu. Sambil sesekali aku selipkan beberapa gurauan, yang mungkin beberapa tidak lucu, tapi Pak M. tetap tertawa dan aku senang. Suasana ujianku menjadi tidak tegang dan begitu nyaman. Pak M. juga baik sekali, mau menjelaskan semua tentang dirinya dan sakitnya kepadaku, secara rinci dan berurutan. Pak M. juga tidak sungkan-sungkan ketika kuminta menunggu sebentar karena aku sambil membuat laporan pemeriksaan.

Aku jadi bingung. Kenapa ada orang sebaik ini padahal beliau sakitnya lumayan keras.

Beliau ini sudah sakit sejak usianya masih 56 tahun, yakni sekitar 8 th yang lalu. Kala itu Pak M. sedang melaut bersama teman-temannya, memancing ikan, dan memakan hasil tangkapannya sendiri yang disajikan dalam menu bakar-bakaran. Saat itu sebetulnya Pak M. merasa sehat. Namun, sepulang dari melaut, Pak M. muntah-muntah dan BAB nya menjadi berwarna hitam. Pak M. saat itu dilarikan ke puskesmas lalu dirujuk ke Rumah Sakit Daerah (RSD). Beliau divonis sakit Melena, yang saat itu beliau sebut penyakitnya bernama "Milenia", sambil mengaku kalau beliau agak lupa-lupa dengan sakitnya apa karena terlalu lama.

Pak M. sudah menjalani berbagai pemeriksaan seperti tes virus, tes rontgen, bahkan endoskopi. Istri bapak menjelaskan kalau hasil endoskopi menunjukkan ada saluran makan yang berlubang dan sering perdarahan. Pak M. sering masuk keluar rumah sakit karena melena dan harus melakukan transfusi 2 sampai 3 kantong. Hal ini sudah Pak M. jalani sejak 2 tahun terakhir.

Penyakit Pak M. sebetulnya adalah sirosis hati alkoholik yang justru tidak diketahui oleh Pak M. Hal ini sengaja tidak diberitahukan kepada pasien karena kondisi psikis yang kurang memungkinkan, sehingga dokter kala itu hanya menjelaskan kepada istri Pak M. Sepanjang sakit, Pak M. jg sangat tergantung pada istrinya yang diakuinya sangat sabar merawat Pak M. Istri menyuruh Pak M. berhenti merokok, berhenti minum soda, dan tidak minum legen lagi. Istri juga yang mengatur semua obat-obatan yg hrs diminum rutin dan mengatur menu diet Pak M. yang batasan-batasannya sangat banyak. Istri juga menyuruh Pak M. berhenti bekerja dan menggantikan penghasilan dengan membuka toko kelontong.

Bagiku, keluarga Pak M. adalah keluarga tempatku belajar sabar dan menerima. Pak M. dengan sakit yang begitu keras, mampu bertahan hingga 8 tahun, mungkin karena sikap sabar dan syukur nya selama mendapatkan penyakit itu. Pak M. bilang, kalau sakitnya ini sudah digariskan kisahnya oleh Allah SWT. Pak M. bersyukur karena sakitnya ini, dia dipertemukan oleh orang2 baik seperti dokter dan orang yg merawatnya. Pak M. juga bersyukur karena sakit jadi tidak bekerja jadi bisa selalu menemani istrinya. Selain itu, Pak M. bersyukur ini bukan kanker yang bisa langsung membuat akhir hidupnya.

Masyaallah.

Allah.. aku yang sehat menjadi sangat malu, tidak aku punyai sifat sabar dan ikhlas seperti Pak M.

Pemeriksaan ku kala itu berlangsung hampir 4 jam. 2 jam wawancara dan pemeriksaan fisik, dilanjutkan dengan pemeriksaan lab. Ku ambil darah Pak M., kala itu aku gagal berkali-berkali, di tangan kanan dan kiri. Karena kondisi bapak memang sangat lemah dan pembuluh darahnya kecil dan tipis. Mengambil darah jadi sangat sulit.

Bapak waktu itu berkata untuk menyemangatiku, "Gapapa mbak, bapak gak sakit, dicoba sampai bisa." Aku terharu. Sangat terharu. Sampai akhirnya aku bisa mengambil darah Pak M. melalui pembuluh yang di kaki. Alhamdulillah waktu itu sekali coba aku bs ambil, meskipun nyeri sekali, nyerinya berkali-kali lipat, tapi bapak tetap sabar dan tidak mengeluh.

Kemudian aku minta izin ke Pak M. untum melakukan pemeriksaan darah dan urin, dan akan memakan waktu sangat lama. Selama periksa lab itu, Pak M. mau saja kuminta untuk menunggu. Bahkan menurut ketika kuminta untuk tidur dulu saja karena pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan lab darah dan urinnya akan lama. Alhamdulillah.

Ujianku berakhir tepat setelah 4 jam. Kemudian dokter pengujiku datang dan mewawancarai aku dan Pak M. Ujianku hanya 15 menit di depan Pak M. lalu ujian selesai. Pak M. aku kembalikan ke kamar rawat inapnya. Ku hanya bisa mengucapkan terimakasih dan 2 kotak kue untuk bapak dan istri. Aku tidak bisa memberi apa-apa. Harapanku hanya, semoga saja nasihat dan masukanku untuk penyakit sirosis hati yang tadi kujelaskan selama pemeriksaan bisa bermanfaat untuk Pak M.

Barakallah, untuk Pak M. dan keluarga.

Senin, 08 Oktober 2018

#coasslife Pasienku Gila dalam Sholat dan Dzikirnya

Pasienku perempuan, panggil saja Ibu M, usianya 55 tahun ketika dia menderita gangguan di dalam pikir dan jiwanya. Pasienku datang ke IGD pada pukul 14.30, duduk menekuk lututnya, masih memakai mukena atas dan bawah yg tidak matching, dimana kulihat bibirnya yg ungu terus menggumamkan nama Tuhannya, Allah.

Laa ilaa ha illallah muhammadun rasulullah.

Allah.. orang ini sama sekali ndak kelihatan lemah atau sakit jd kenapa sampai dibawa kesini?

Dokter jaga IGD memanggil dan menyuruhku memeriksa pasien itu di ruang triase. Ruang triase seharusnya jadi tempat untuk menentukan level kegawatan pasien-pasien yang datang ke IGD. Namun karena semua bed di IGD sudah penuh, pasienku jadi prioritas terakhir utk ditempatkan di bed. Pemeriksaan pun kulakukan di meja triase. Pasiennya lalu ku tensi, ternyata tinggi waktu itu 150/100.

Kutanya ibu sakit apa, dia bilang dadanya begitu sakit, berpindah-pindah sepanjang lapang perut dan dada. Cara ibu mendefinisikan lokasi nyeri di dadanya itu tidak khas. Ibu terus menunjuk-nunjuk bagian yang sakit, kadang dengan telunjuknya, kadang dengan jempolnya, kadang jg dengan seluruh telapaknya ia tempatkan di lokasi dada yang nyeri. Aku jd agak sulit untuk menentukan apakah benar-benar nyeri dada karena sebab fisik, atau ibu ini hanya tipu2 krn kondisi psikis yang terganggu?

Pemeriksaan dada yang kulakukan semuanya normal. Tidak ada rhonki maupun wheezing yg mencirikan kelainan pada paru, pun tidak ada suara jantung tidak normal atau pembesaran di jantung ibu. Saya tanya lagi, sejak kapan nyeri begini, ibu bilang sejak dibawa ke sini. Seperti apa rasanya? Seperti ada yang terus memarahi. Siapa yang marah? Ya, semua orang. Mengapa mereka memarahi ibu? Nggak tahu.

Okay, I see. Ibu ini ada gangguan di pikirannya makanya dokter IGD suruh aku yang periksa, aku kala itu sebagai koas Psikiatri atau Ilmu Kesehatan Jiwa.

Ibu saya tanya sedang dimana, bisa menjawab ini di rumah sakit, ibu bahkan dengan semangat menjelaskan mana barat, timur, utara, dan selatan. Kata ibu, sana kulon kan, saya madep sana saya mau sholat asar ya bu Dokter. Ini sudah jam asar ya bu Dokter. Saya tadi sholat dhuhur tapi sama orang baju merah diseret dimasukkan mobil disuruh buru-buru saya, padahal belom sholat, belom mandi, belum pake mukena saya.

Baiklah, saya ijinkan ibu tsb sholat asar terlebih dahulu dalam posisi duduknya itu. Ibu kemudian menyetujui ide sholat sambil duduk itu. Toh, pikirku, ibu ini sudah tidak ada kewajiban untuk sholat kok, gak papa sesekali sholat di kursi triase ya, bu. Hehe.

Selama ibu sholat, aku mewawancarai keluarga, petugas sosial, dan perangkat desa yang mengantar pasien ke RS. Mereka bilang, jujur, membawa beliau kesini karena tingkah lakunya sejak tidak stabil sudah meresahkan masyarakat desa. Bahkan Ibu M ini sempat pergi tanpa pamit selama 13 hari, lalu ditemukan sudah dirumah anaknya di tempat yang terpaut 30 km jauhnya dari rumah ibu. Ibu M baru saja ditemukan dan kembali ke rumah 4 hari yg lalu. Lantas, Ibu M tinggal dirumah adiknya di desa dan dikeluhkan oleh adiknya bahwa ibu M ini sulit sekali disuruh tidur dan makan teratur. Kerjaannya sehari-hari adalah mengajak ngobrol sampai meracau sendiri dan marah-marah jika tidak berkenan pada yang menanggapi. Ibu M sering bikin keributan di mushola karena kebiasaannya tersebut. Selain itu, Ibu M sering ngintil orang-orang untuk memanen cabe di kebun milik tetangga dekat rumahnya dan disana pun banyak sekali meracau kadang marah-marah. Alasan warga mulai tidak nyaman adalah kekhawatiran jika Ibu M tiba-tiba melakulan kekerasan dari verbal menjadi fisik, akibatnya emosinya yang tidak stabil ini. Selain itu, keramaian Ibu M di mushola membuat jamaah tidak bisa khusyuk beribadah.

Adik pasien mengaku kalau Ibu M ini orangnya latah ke mushila setelah mendengar azan berkumandang, masyaalllah. Akan tetapi, sesampainya ke mushola, Ibu M lupa bahwa dia kesana untuk sholat berjamaah dan mengaji. Kadang yang Ibu M lakukan hanyalah meracau, seperti ingin mengajak ngobrol semua orang, tetapi bahasannya tidak karuan dan sulit sekali menyela pembicaraannya. Setelah itu, Ibu M akan terus di mushola hingga kelelahan dan ketiduran. Ibu M juga sering menumpang mandi, mencuci baju, dan makan di mushola. Makanan yang Ibu M makan berasal dari pemberian tetangga.

Begitulah. Ibu M dulunya dikenal sebagai orang yang rajin beribadah sholat dan puasa sunnah, selain itu rajin ikut yasinan dan sholawatan di langgar. Sebelum sakit, Ibu M merupakan janda dari perceraian suami yang kedua yang pernikahannya tidak memiliki anak. Sebelumnya, Ibu M pernah menikah dengan suami pertama namun bercerai 20 th yang lalu, dan hanya meninggalkan seorang anak saja. Anak Ibu M sekarang di luar negeri bekerja sebagai TKI dan jarang pulang ke Indonesia. Ibu M ini mulai sakit sejak 3 bulan yang lalu sejak perceraiannya yang kedua. Perceraian yang dipicu oleh himpitan ekonomi keluarga.

Terlepas dari penyakit jiwa yang Ibu M derita, da satu pelajaran besar yang aku terima selama merawat Ibu M di kamar pasien. Ibu M tetap rajin ke masjid rumah sakit setiap mendengarkan azan berkumandang, secara tidak sadar, namun sudah lebih terkendali karena diberi obat. Ibu M sulit sekali disuruh pulang ke kamar pasien sebelum petugas dokter atau dokter muda sendiri yang suruh karena mau pemeriksaan. Jadi, Ibu M ini sering sekali kutemukan tak sengaja di masjid. Kadang sambil membaca alquran, nemplok di salah satu tiang masjid, dan mulutnya terus komat kamit.

Masyaallah, batinku, ndak pernah bisa membayangkan dulu beliau orang yang seperti apa. Se-sholehah apa? Hingga Allah ndak mencabut nikmat ibadah dari beliau meskipun beliau kini sakit jiwa yg berat. Aku menangis. Malu karena jiwaku yang sehat, sering lupa untuk sholat tepat waktu. Bahkan sering lupa ketika mendengar azan, tidak otomatis menjawab nya dengan panggilan untuk sholat. Pun aku juga malu, lisan ini kebanyakan dibuat mengeluh, lupa untuk dibuat bersyukur, lupa untuk dibuat berdzikir, menyebut nama Allah yang telah murah hati memberiku kesehatan fisik dan jiwa, memberiku diri yang utuh.

Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.
Harus banyak introspeksi diri kalau sudah begini. Sedikit sibuk saja di koas, sudah ngeluh, sudah lupa sama waktu sholat, waktu ngaji, dan waktu dzikir. Semoga Allah melindungi para koas dari bahaya kesibukan dunia! Aamiin Yaa Rabbal Alamiin.

Senin, 25 Juni 2018

#mimpi Nasihat Abang

Semalam aku bermimpi tentang kebaikan Abang.

Abang tahu saja aku sedang stress akhir-akhir ini. sampai banyak sekali jerawat yang muncul di daguku yg umumnya akibat stress dan hormonal. Abang datang dalam mimpiku dan menasehatiku supaya tidak stress.

Abang mengajakku jalan-jalan dan beli martabak telur di perjalanan pulang. Sayangnya aku sedang menghindari telur supaya tidak berjerawat jadi hanya Abang yang makan martabaknya.

Kira-kira nasehat Abang seperti, "Apresiasi dirimu sendiri dek dengan hal-hal kayak gini. Makanan, hadiah, jalan-jalan. Dengan begitu kamu ga begitu stress. Beri sedikit reward atas semua pencapaianmu."

Nice, Abang!
Hari ini aku tidur nyenyak.

Minggu, 24 Juni 2018

#kisahkawan Abangnya Dea

Lahir selisih 2 tahun, di tanggal yang sama, kupanggil dia Abang. Aku pada pukul 9 malam, tepat di hari yg sama saat Abang berusia 2 tahun.

Abang adalah teman ku di kala senang, sedih, berhasil, atau saat gagal. Aku mengenalnya kurang lebih 4 tahun yang lalu, saat masa-masa kami masih ospek di kampus ku di jogja. Waktu itu dia menjadi sekretaris acara bakti sosial, sedangkan aku menjadi koordinator publikasi, dokumentasi dan desain. Kami mulai mengenal dan banyak berinteraksi kala itu. Kami pun menjadi teman baik setelah melewati banyak debat dan gesekan selama kepanitiaan.

Abang orang yang paling baik yang pernah kukenal. Dan aku org yg jahat, meninggalkannya di jogja setelah setahun kami berteman, untuk melanjutkan studi di tempat lain yang jauh di jember. Padahal, aku tidak yakin akan bahagia dan menemukan orang baik sepertinya di jember, tapi aku nekat berangkat dan meninggalkan harta berhargaku di jogja, yaitu teman, teman yang tulus.

Aku ingat, Abang selalu berusaha mengerti aku duluan, padahal aku selalu tidak pengertian. Tapi katanya, aku telah menyumbangkan banyak senyum dan tawa di pertemanan kita. Buatnya itu sudah sama. Dalam berteman, tidak seharusnya semua orang bersifat sama. Tetapi setiap orang harus memberi agar pertemanan itu hidup. Bagi kami, Abang yang memberi perhatian lebih karena dia memiliki itu. Sedangkan aku yang memberi tawa lebih karena ternyata aku memiliki itu.

Selain itu, kita juga sering bertukar tanda tangan. Katanya, latihan dulu kalau suatu hari butuh nitip absen. Hehe. Sering memang, salah satu dari kami terpaksa bolos tapi sudah tidak punya jatah bolos. Daripada terancam tidak bisa ikut ujian dan terpaksa mengulang krn absen tidak memenuhi, kami jadi terpaksa saling mengabsenkan (jangan ditiru ya, kami sudah nggak begitu kok, hehe). Pernah suatu hari kakekku meninggal dunia di hari senin. Aku mau tidak mau harus bolos kelas dan pulang ke ngawi. Abang pun membantuku menandatangi absensi kelas supaya aku tidak ketahuan bolos. Kadang, sering, aku jg mengabsenkan Abang kalau dia sedang pulang ke kampungnya karna urusan penting. Kadang juga tidak masuk karena sakit. Di kampus kami, sakit tanpa keterangan dokter tidak akan diterima sebagai alasan izin. Dan kami sering malas untuk ke dokter ketika sakit. Kami lebih memilih istirahat total dan tidak masuk kelas, karena toh masih bisa TA (titip absen). Hehe. Jangan ditiru ya!

Kalau sakit, Abang tidak hanya TA kan aku, tapi dia pasti datang ke kos membawakan makanan. Kadang Abang tanya dulu aku lagi selera makan apa. Pernah aku minta sate, batagor, siomay, jus buah dan abang pasti membelikan sesuai pesanan. Karena jaman dulu belum ada go food ya, kalau ada sudah pasti aku ndak mau merepotkan Abang karena kosku itu jauh sekali dari kosnya. Di lain kesempatan, ketika Abang sakit, dia selalu larang aku datang. Katanya sudah ada teman2 kosnya, mereka baik2 banget, pasti merawat Abang kalau Abang sakit. Aku jg kenal dengan teman2 kosnya Abang. Ada yg jago banget masak. Temannya itu sering masakin buat orang serumah. Kadang aku maen kesana dan disuruh nyicip, kadang malah disuruh makan sampe kenyang. Temannya itu orang riau, masakannya enak-enak lho.

Aku senang sekali berteman sama Abang ini. Selalu menawariku bantuan aku kalau aku lg sulit dan malu bilang. Kayaknya baru Abang, orang pertama yang mau mengerti aku sampai segitunya. Yang paham kalo aku orangnya gengsian, selalu menawari duluan, tp nggak pernah menyinggung tentang kegengsianku. Yang paham kalo aku orangnya minderan, selalu menyemangati duluan, tanpa menyinggung tentang kerendah dirianku. Yang paham kalo aku orangnya suka cari perhatian, selalu bertanya kabar duluan, tanpa menyinggung manjanya aku kepada sembarang orang.

Sabtu, 09 Juni 2018

#refleksi terpaksa kah kuliah di FK?

Oh ya. Pertanyaannya masyaallah.

Bagi beberapa orang yang dekat sama aku di jember, pasti merasakan, aku begitu tidak menikmati kehidupanku di fk sini. Perihal kuliah yg banyak materi, persoalan yg sedikit rumit, tugas-tugas yang banyak, aku pun sedikit-sedikit banyak keluhan. Sedikit banyak murung dan berkesedihan. Sedikit-sedikit mengalah pada setiap masalah, berlari, menepi, dan menghindari semua kemungkinan. Takut mencoba hal-hal baik karena keminderan.

Intinya, bagi orang-orang itu, hidupku disini tidak seasik yang dulu-dulu. Tidak seberagam dengan kisahku di tempat rantau sebelumnya. Aku tidak semangat seperti di sekolah ku yang dulu. Tidak ada gairah untuk membangun peradaban di lingkungan yang baru. Cenderung diam menghindar dan menikmati hidup tapi seolah aku menderita terus.

Yah, bagiku, semua ini tentang tiadanya rasa syukur. Aku mendeteksinya sekitar 2 tahun yg lalu, ketika sahabatku dari Jogja berulang kali mengingatkanku untuk lebih ikhlas dan bersyukur. Hatiku sungguh masih jauh dari kedua makna tersebut. Hatiku rapuh dengan mental yg lemah. Aku bisa jadi dikenal orang yg paling sabar sedunia karena menahan rasa sesak sendirian, dalam waktu yg cukup lama. Bisa jadi juga aku org yg paling berusaha sedunia, yg ingin sekali mendapat ikhlas, tapi sampai sekarang yg kuhadapi masih seseorang yg rajin mengeluh saja.

Apa yang kutinggalkan di belakang seharusnya tetap tinggal. Tapi aku selalu memaksakan diri untuk membawanya serta. Akhirnya aku hanya sibuk mengingat-ingat nikmat luar biasa yg kurasakan sebelumnya, dan tak lelah pun membandingkan hari lalu dengan hari ini. Sampai terlupa bahwa di depan mataku, ada yang harus kuperjuangkan dengan ikhlas, dan ada begitu banyak nikmat yg harusnya pandai-pandai aku syukuri.

Sayangnya, ku hanya mengeluh dan mengeluh sampai seterusnya. Aku selalu menunjukkan bahwa hidupku rasanya sulit. Aku menyerah menghadapi masalah yang terjadi dalam diriku. Aku hanya menunjukkan hidup susah pada orang-orang disekitarku. Berteriak-teriak meminta pertolongan, selalu mengandalkan orang lain sebelum diri sendiri, bergantung pada lingkungan, lemah dan ketakutan saat menghadapi kenyataan sendirian.

Padahal, semua orang hidup dengan berat. Berjuang dengan keras. Cuman kadang kita yg merasa dunia ini hanya terpusat di kita, menganggap yg kita lalui itu sudah paling berat, pdahal tidak benar. Diluar sana, banyak sekali kisah yang lebih pedih dan menyakitkan daripada kisah kita yg selalu kita perdengarkan ke orang lain. Daripada keluhan-keluhan ringan sehari-hari yang terlampai sering kita utarakan.

Seharusnya, aku yang berbagi bukan yang meminta tolong kepada orang-orang. Hidupku cukup. Keluargaku utuh. Parasku normal. Tubuhku sehat. Adik-adikku manis dan baik. Orang-orang disekitarku menghormatiku. Tapi aku hanya mengeluh dan mengeluh tentang KULIAH DI FK YANG TIDAK COCOK. Karena terlalu berat. Atau mungkin karena aku yg tidak mau berusaha lebih keras, tidak ada semangat untuk belajar lebih giat.

Bukan karena aku terpaksa kuliah di FK.

Tapi karena kurang bersyukur sudah diterima di FK. Kurang bersyukur saja.

Jember: RQM Al ikhlas 2

Selasa, 05 Juni 2018

#ceritadiri kenapa minder?

Mengapa aku seperti minder?

Perasaan ini sudah mulai aku rasakan sejak 4 tahun yg lalu. Pertama kali muncul sejak aku menjalani ospek fakultas sebagai maba di FK UNEJ. Lain sekali dengan ospek yang aku jalani di gadjah mada. Di saat dulu aku merasa begitu bangga dengan almamaterku dan jogja, tapi lantas kenapa aku justru merasa tertekan dan kerdil dgn almamaterku yg baru dan jember?

Dulu kupikir perasaan minder itu muncul karena aku dipaksa masuk fk. Aku menyalahkan orang2 yang memaksaku masuk fk. Aku pun menyalahkan diriku yg begitu nurut dan tanpa pikir panjang mau meninggalkan studi pertanian ku di ugm. Bodohnya, aku jadi lupa untuk mensyukuri setial nikmat yg Allah beri padaku. Setiap hari aku hanya mengeluh dan seolah paling menderita dengan keadaanku. Rasa minder pun lambat laun menggerogoti fisik dan hatiku.

Sakit menjadi sahabat setia sejak aku pindah merantau ke tanah Jember. Mundur jadi kata favorit di setiap kesempatan yang datang padaku di Jember. Lari adalah pilihan terbaik saat masalah menderaku. Diriku kini begitu sakit dan lemah karena pilihan-pilihan bodoh yang kuambil sendiri selama 4 tahun terakhir. Semua karena aku kurang bersyukur. Membuatku jd sesak dan kurang percaya diri. Membuatku benar2 jadi tidak memiliki kelebihan apapun karena terlampau fokus pada penderitaan. Padahal penderitaan ini tidak seberapa.

Tapi tidak, anehnya, pada saat bersama orang-orang tertentu, kepercayadirianku dengan mudah muncul. Ketika bersama sobat-sobat pengajar dari UJAR, ketika bersama teman sekamarku Sukma, atau ketika bersama senior2 dan junior2 di UJAR. Real definition of nyaman! Sehingga aku ga minder di depan mereka. Sehingga klo ku tidak salah ingat, justru lebih banyak karya yg kutorehkan di UJAR ketimbang di BEM yg mana sebetulnya aku lbh di posisi penting di BEM.

Aneh jika dipikir kembali.

Tapi kini aku mengerti. Kunci dari rasa percaya diri masih belum kumiliki.

Aku hanya pede ketika aku merasa dicintai oleh orang lain. Namun aku tidak mudah membuat diriku yakin bahwa aku dicintai. Padahal, soal merasa ini adalah hal yang subjektif sekali. Aku yg super baperan, pasti terlalu muluk untuk mendefinisikan perasaan cinta orang lain terhadap ku.

Sedikit saja aku merasa diperlakukan berbeda, ku akan menarik diri dari mereka. Sedikit saja aku tidak mampu menyamai warna, aku lantas mundur dari persahabatan mereka. Aku masih menunggu orang lain datang. Dan aku terlalu mengamati perlakuan terhadapku, mengartikan nya sebagai bentuk rasa suka atau pun tidak, sesuka hatiku. Akhirnya, kuakui, selama ini aku telah terjebak oleh definisi yang kubuat sendiri. Oleh definisi yg begitu sempit dan miskin. Yang akhirnya membunuh perlahan rasa bangga ku. Menghilangkan sama sekali rasa yakin pada diriku sendiri.

Kemarin, baru saja, YouTube memberiku kabar gembira. Rasa minder ini ada obatnya. Meski terlanjur dalam mengakar tetap bisa dicabut. Perlahan. Bahkan akar bangunan kokoh saja busa hancur ketika gempa tektonik skala besar terjadi. Maka, bayangkan saja rasa minder itu dapat hilang, asal ada kemauan yg besar. Asal ada usaha yang besar.

Wahai rasa minder, berbaik-baiklah denganku, perpisahan kita harus terjadi entah dalam waktu dekat atau jauh, dengan perpisahan yang indah.

#seharibercerita a long weekend

Ahad, 3 Juni 2018.

Aku katakan.
Aku bahagia sehingga aku sanggup menuliskannya.

Hari ini minggu. Sudah 3 hari aku berlibur, long weekend. Tidak ada rencana khusus, aku hanya dirumah. Sebetulnya aku memiliki target menyelesaikan buku paket farmako ui, namun aku urung membuka bukunya setelah kemarin ku habiskan beberapa bab saja.

Kupikir karena aku lelah. Sedari pagi aku hanya berbaring di kasur empuk, sambil bercengkerama dengan gadget ku.

Menjelang jam 1 siang, ku bersiap-siap. Kawan2 ku mengajak rapat untuk membahas kegiatan kita 4 bulan ke depan. Kawan2 yg mengajakku bermimpi mengukir sejarah dalam dunia dokter muda di subandi. Dua kawan ku sedang menempuh stase bedah, satu nya stase obsgyn. Mereka bertiga sedang di masa2 sulit. Tidak seperti aku yg di stase radiologi. Syukurlah.

Kami berempat memulai rapat jam setengah 2. Sedikit molor krn salah seorang kawan baru selesai dari kegiatannya mengisi penyuluhan di suatu sekolah. Dia memang membanggakan. Jalannya rapat tidak terasa karena banyak kisah terulir dari dia. Dia banyak bercerita tentang sepenggal kisah di stase bedah, yg dia alami, yg dia lihat, dan berkesan selama 6 minggu terakhir dia disana.

Tidak perlu kuceritakan terlalu detail ya. Tapi rapat ini, aku bahagia. Aku bersyukur bisa mengukir mimpi dan rencana dengan orang2 ini. Tidak hanya hebat, mereka juga baik, yg bersedia menerimaku tanpa khawatir dengan segala keterbatasanku. Dengan mereka justru aku diberi banyak peran dan tugas. Dari mereka aku banyak belajar.

Salah seorang dari mereka menceritakan pengalamannya. Dia koas baru di bedah. Dia baru2 ini ikut naik ke ruang operasi. Tapi apa, dia sudah pernah melakukan trakeostomi sendirian, dibawah supervisi ppds bedah umum. Luar biasa sekali. Bagiku itu diluar kemampuanku. Aku yg melihat pasien teriak2 sakit perut saja sudah ketakutan saat diminta memeriksan6a. Aku yg disuruh melakukan injeksi SC saja ketar ketirnya setengah mati. Dari ceritanya ttg melakukan trakeostomi sndirian, membuatku jd ingin lebih berani ketika mjd koas ruangan nanti, aku bersyukur.

Untuk seseorang yg ilmu nya terlalu dangkal seperti aku, aku cenderung penakut setiap melakukan tindakan di ruangan. Sembarang hal mulai dari yang remeh sampai sedang, jarang aku berinisiatif lakukan. Tapi ternyata, aku hanya kurang percaya diri saja. Dan hari ini aku disadarkan. Aku bahagia bisa mendapati kekurangan dalam diriku yg akan kuperbaiki.

Ketika hari ini aku bisa, besok aku jg hrs bisa.

Ketika bahagia membuat ku lebih yakin, maka bahagia adalah kuncinya.

Berarti, sekarang, pertanyaannya, bukankah hari ini koas Arifah bahagia?