Rabu, 03 April 2019

Perempuan yang sangat tegar

Aku menangis mengenang lagi kisahnya hari ini. Seorang perempuan yang amat kukenal kesabarannya. Tak ku sangka dia harus diuji dengan ujian seberat itu. Meski dia seorang perempuan yang dingin dan kaku, dibalik sifat pendiamnya, aku tahu beban berat apa yang dia pendam sendirian.

Tidak pernah bisa kubayangkan menjadi perempuan sepertinya. Dia kini seorang ibu dari beberapa anak yang sholeh dan membanggakan. Tapi kini ia juga seorang istri tua, setelah suaminya memutuskan menikah lagi dengan perempuan lain, di penghujung tahun kemarin. Tidak mungkin itu kabar bahagia baginya, itu seharusnya menjadi kabar sedih. Aku menerima ceritanya pun sedih, melihat dia tetap tegar dan sabar menyayangi anak-anak mereka, sekalipun kini cinta suaminya terbagi dua.

Dia bilang bahwa semoga ini semua jalan dia meraih surga. Dia bilang dengan tegar bahwa dia yakin ini lah bentuk sayang Allah padanya. Dengan menguji dia dengan ujian yang tidak banyak perempuan mendapatkannya. Menguji apakah dia benar-benar mencintai suaminya karena Allah? Atau hanya karena penilaian manusia nya kepada suaminya itu. Dia yakin jika bisa melewati semua nasib ini dengan baik, dia yakin akan ada kebaikan menantinya di depan sana. Sekalipun dia harus menunggu balasannya setelah tutup usia, dia dengan sabar menjalani semua ketetapan Allah pada hidupnya.

Ya Allah.. perempuan ini benar-benar tulus dan kuat. Dia bahkan menyembunyikan istri muda tersebut dari anak-anak mereka, atas perintah suaminya. Dia lakukan apa yang suaminya inginkan, demi mendapat ridho suaminya, meski itu sangat berat. Dia juga menyembunyikan kesepiannya, karena suaminya kini hanya pulang ke rumah 2 hari sekali bergantian dengan istri keduanya. Dia bermurah hati, tidak pelit berbagi kasih suaminya dengan istri muda, karena itu yang Allah perintahkan. Dia pun tidak tinggi hati dan minta pamrih lebih, sekalipun dia adalah istri pertama, yang sedari awal menemani suaminya sulit dan senang dalam meniti sukses seperti sekarang. Dia hanya ingin suaminya tetap ridho. Dia hanya memikirkan kebaikan untuk keluarga dan anak-anaknya. Dia lupakan perasaan dan hidupnya sendiri.

Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika aku, yang juga perempuan ini, akan bernasib sama sepertinya. Apakah aku akan tetap sabar dan ikhlas mencintai suamiku? Apakah aku akan tetap kuat untuk tidak menangis dan berkeluh di depan anak-anak suamiku? Apakah bayangan surga akhirat cukup untuk menghiburku, meskipun dunia terasa seperti neraka adanya?

Apakah aku, yang Allah kenalkan dengan perempuan itu, kini menyadari situasinya, bahwa aku harus lebih tegar dan kuat dalam hidupku yang ujiannya tidak seberapa?

Selasa, 02 April 2019

Perubahanmu mengubahku?

Aku sebenarnya bingung dengan apa yang kurasakan sendiri belakangan ini. Masih berkaitan dengan energi negatif ku, menghilangkan kepercayaan diriku, membuat fokus ku berpaling dari hal-hal baik, dan hanya memikirkan kemungkinan terburuk.

Seorang teman, yang dulu amat baik, yang dulu selalu tersenyum ketika bertemu, yang dulu hampir menangis karena takut kehilangan diriku. Tapi mendadak dia menjauh. Tanpa kutemukan apa yang salah dari hubungan kami akhir akhir ini. Dia sudah jarang mengajak ngobrol. Dia juga jarang tersenyum selebar dulu. Hanya tersenyum seperlunya yang penting sudah senyum kepadaku.

Dan karena aku sudah pesimistis, sudah minder dan malu dengan diriku sendiri, juga tak sanggup untuk mendekat dan menyapa dia kembali. Membuatku takut menghadapi kemungkinan kenyataan dibalik perubahan sikapnya akhir-akhir ini. Pikiran negatif bermunculan. Membuatku menuliskan ribuan baris kesalahan yang mungkin kulakukan terhadapnya tanpa sadar. Membuat hatiku merasa bersalah setiap hari. Menjadi hampa dan kosong. Sering memaki kondisi diriku dari hari ke hari. Tanpa berusaha mencari alasannya. Tanpa berusaha memperbaiki keadaannya.

Mungkinkah aku berubah semakin terpuruk setelah perubahannya bersikap padaku?

Atau mungkin aku yang dulu telah berubah buruk sehingga tidak satu pun orang mau berteman denganku?

Atau ini kah yang disebut ego setinggi tembok ku?

Energi negatif di tubuhku?

Sebelumnya aku meminta maaf karena judul postinganku kali ini sudah mulai ngelantur. Jauh sekali dari ekspektasi teman-teman yang mengenalku sebagai seorang perempuan, cantik, ceria, sering memberi semangat, punya energi ekstra, dan penuh dengan aura positif (?) Apakah kalian melihatku seperti itu?

Kali ini aku akan menceritakan, atau mungkin menggambarkan tentang energi negatif yang sebetulnya lebih banyak kumiliki, jika saja bukan Allah yang menguatkanku, jika bukan Allah yang melindungiku. Selama 5 tahun terakhir, selama aku studi di sini.

Setiap aku berkeluh kesah, dan itu hampir setiap saat, aku justru semakin sedih ketika akhirnya aku menyadari, aku cukup sering mengeluh. Dan terkadang aku sampai mengutuk diriku sendiri, menyalahkan diriku sendiri, sampai aku terlambat menyadari bahwa aku memang perempuan. Perempuan memang bisa saja diciptakan perasa, sensitif, kadang pun berlebihan menilai sesuatu dengan melibatkan perasaan. Tapi aku seperti hanya ada perasaan negatif yang menguras energiku setiap hari.

Aura negatif ku kadang sudah tak terbendung. Membuatku ingin menuliskannya di suatu tempat tapi ku urung. Setiap kali ku urung, ku simpan sendiri, hanya kuceritakan pada angin dan rerumputan, kadang hanya pada tembok yang membeku di tiap malamnya. Kadang aku teteskan air mataku, membawa cerita resahku mengaliri lantai-lantai yang dingin.

Aku merasa negatif. Dan aku merasa sendiri. Sulit untuk membagi resah dan khawatir ku kepada yang lain, sulit melihat bahwa pertolongan itu amat dekat, tapi tak pernah kuraih. Hari demi hari hanya mengutuk diri. Membuat setiap sendi dan lekukan nadi ini menjadi semakin negatif. Dan semakin buruk.

Ketika aku hanya fokus pada hal hal negatif dari setiap kejadian, aku merasa sangat perih. Aku hanya ingin menangis tapi aku malu terlihat lemah. Aku tidak tahan melihat orang akan meremehkan karena air mataku. Aku pun tidak tahan ketika orang lain menemukanku sebagai seseorang yang hanya cari perhatian dengan tingkahku.

Aku selalu bersedih saat aku tidak bisa. Kemudian aku menyerah karena aura negatif ku lebih berkuasa. Tidak ada lagi keinginan ku untuk berbenah karena kurasa itu akan sulit. Aku seolah tidak tahan dengan kesukaran yang sedikit. Aku cenderung melebih-lebihkan kekurangan dan menjadikannya alasan untuk berhenti berusaha dan mengusahakan. Apalah aku yang sekarang ini, tidak lagi punya amunisi, ambisi, atau bahkan sekedar motivasi. Cukup untuk menjadi 1 persen lebih baik pun tidak kuamini. Tidak ada lagi ide-ide positif dalam benak dan pikiran. Tidak ada lagi kepercaya dirian yang tertinggal di lubuk hati.

Entah apa yang sudah kulakukan selama 5 tahun terakhir ini. Hingga energi negatifku mendominasi. Mengikisi seluruh energi positif yang lama kupelihara hingga aku SMA dulu. Entah kesulitan apa yang kutemui dalam perjalanan 5 tahun terakhir ini. Hingga habis sudah ide baik di dalam hati. Habis sudah rasa syukur, rasa happy, rasa tenang, rasa percaya diri. Hanya terpupuk rasa putus asa, rasa sedih, rasa sesak, dan kecewa di dada.

Energi negatif telah menggerogotiku. Energi positif mungkin enggan kembali padaku. Hanya Allah tempatku berharap. Hanya menulis tempatku berkisah. Tak sanggup bersuara karena hanya akan keluar isak. Tak sanggup berbuat karena yang terjadi hanyalah maksiat.

Ampuni aku dan energi negatif ini, Ya Rabb!

Allahumma inni nas'aluka ridhoka wal jannah. Wa 'audzubika min sakhatika wan narr.