Jumat, 17 Mei 2019

Segalanya karena Allah saja

Dia yang di dunia ini tekun berdzikir pada Allah dalam setiap napasnya. Seorang tabi'in di masanya. Ia ucapkan "Allah" di tiap tarikan napas lembut, lalu dia ucapkan "Huwa" tiap kali napasnya berhembus. Menjadi banyak rangkaian "Huwallah" yang artinya "Dialah Allah". Sungguh sebuah ritme napas yang amat indah. Karena ia bersamai tiap siklusnya dengan ingatannya pada Rabbnya. Menunjukkan betapa seluruh hidupnya hanya untuk Allah semata. Diniatkan lillahi taala. Penghambaan tertinggi yang luar biasa yang bisa kita contoh jika Allah mengizinkan, insyaallah.

***

Hasbunallah wa nikmal wakil.
Cukup bagiku Allah, sebaik-baik penolong.

Namun ada apa dengan diri kita, mengapa begitu jauh dari merasa hidup ini dengan Allah. Setiap langkah yang kita ambil, dan  pikiran selalu terpenuhi dengan tanya-tanya seperti nanti makan apa, nanti pergi ke mana, nanti belanja sama siapa. Hanya sedikit lafadz Allah yang kita lantunkan, minimal 5x setiap habis sholat. Tapi apa iya?

Barusan kulihat saudara langsung berdiri, melipat sajadah, dan beranjak dari tempat sujud begitu salam ke kanan dan salam ke kiri. Lalu mengusap wajah mengatakan amin. Saudara terburu-buru mengambil alas kaki. Keluar dari tempat sholat. Dan saudara sudah ada di kantor tempat saudara bekerja, di kelas tempat saudara mencari ilmu, dan di studio tempat saudara berkarya. Tempat dimana pikiran saudara begitu fokus oleh nikmatnya kesibukan hari ini.

Apakah saudara bahkan ingat untuk meniatkan kesibukan itu lillahi taala? Untuk Allah semata. Atau semata untuk membunuh waktu, mencapai target, dan menghimpun pundi-pundi rejeki?

Atau akankah kita ubah arah niat ini, menjadi untuk Allah? Bekerja utk menafkahi keluarga, sekaligus memberi manfaat bagi sesama, semata mencari ridho Allah. Sederhana kan saja, tapi bersambung cara berniatnya.

Kawanku, ia seorang loper koran. Lantas bagaimana cara dia meniatkan ini lillahi taala? Ternyata, baginya, pekerjaan ini ia niatkan untuk mengabarkan berita baik dan buruk dunia kepada pembeli korannya. Dia berharap pembeli dapat mengambil hikmah dari berita-berita tersebut, dimana semuanya atas kehendak Allah SWT. Pembeli tersebut sejenak akan berpikir betapa Maha Kuasanya Allah SWT dalam mengatus seluruh kejadian di dunia ini. Dan hal tersebut akan meningkatkan rasa keimanan pembaca kepada Allah SWT.

Kemudian guruku, seorang guru matematika di kelasku. Bagaimana ia meniatkan ini dengan sederhana? Ia ingin, dengan kuliah matematikanya, seseorang mampu berhitung. Sehingga keahlian berhitung, berkali, dan membagi ini dapat membantu seseorang untuk me-manaje waktunya untuk membagi waktu beribadah, bekerja, dan bersosialisasi sehingga efektif dan efisien. Sehingga hal tersebut dapat menjadi sarana mempermudah ibadah seorang hamba. Berkat pengajaran matematika yang diberiksan oleh guruku. Masyaallah.

Maka ayo niatkan, sekecil apapun, sesimpel apapun yang kita lakukan itu semata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kamis, 16 Mei 2019

Berdoa tapi putus asa

Berdoa, setiap hari, dicatati oleh nya satu persatu, doa yang diajarkan oleh ustadz di daring-daring kajian yutub. Dia tempel catatannya, di tembok, tempat dia menghadap kiblat saat sholat. Supaya dia baca, supaya dia ingat untuk melantunkan doanya, terutama dalam setiap sholat, dalam setiap sujud dan takbirnya.

Allahuakbar.

Dia begitu putus asa. Sampai semua doa para sahabiy dan tabi'in dia tirukan. Sampai-sampai asmaul husna dia sebutkan satu persatu secara serabutan. Dia tergesa-gesa, mungkin juga ada ketakutan. Karena mungkin hidupnya tidak akan lama lagi. Napasnya terkikis oleh ketidakberdayaan dirinya di dunia yang keras ini.

Dia catat doa Bilal bin Rabbah. Dia tulis doa Abu Bakar as Shiddiq. Dia hapalkan doa rutin Muadz bin Jabbal. Dia tirukan. Dia coba beri pengharapan dalam setiap tutur doanya. Dia baca di setiap sujudnya. Dia lantunkan doa diantara dua sujud, perlahan, pelan-pelan, supaya tidak terlewat dari seluruh item doa di dalamnya.

Dia tarik napas lemah di setiap permulaan doa. Dia hembuskan napas lirih-lirih di setiap pengakhiran. Begitu lemah. Tiada daya yang dimilikinya saat ini selain perkataan doa pada Rabb-Nya. Begitu selama ini yang dipikirkan oleh hamba tersebut.

Hamba ini rajin sekali berdoa. Berharap banyak kebaikan dari doa-doanya. Tapi sebatas itu. Dia merasa tidak berdaya hingga berdoa pun dia terlihat sangat putus asa. Ikhtiar nya berhenti di doa. Adakah dia mencoba bangkit? Adakah dia merasa bersemangat setelah setiap doa?

Maka, dapatkan kita temukan hikmah dibaliknya?

Betul, jika kamu berpikir dia kurang percaya diri. Dia sangat bergantung pada Rabbi, tapi dia tidak percaya Rabbi nya adalah cukup baginya untuk mem backing dia dalam hidup ini. Rabb nya lah yang akan memberi dia daya dan upaya. Rabb nya lah yang menyuruhnya untuk tidak pernah putus asa. Rabb nya yang suruh hamba untuk berusaha semaksimal, dengan semangat jihad, dan niat lillahi ta'ala. Sehingga hasil dari upaya seorang hamba, tidak boleh sekali-kali diukur dari penilaian manusia.

Hasil jelek, mutung. Upaya keras, hasil upah tidak sebanding, mengeluh. Belajar keras, ujian sulit, nilai tidak lulus, langsung putus asa. Bukan sayang, bukan seperti itu ikhtiar dalam setiap doa. Tapi tetap semangat, tidak mengukurnya dari standar manusia. Karena niat yang lillai ta'ala, seharusnya mengantarkan dia dalam pemahaman, bahwa Allah yang akan menghargai usaha kita dengan ganjaran yang paling adil. Tidak harus di dunia, tapi Allah simpan untuk di akhirat kelak. Dengan iming-iming investasi surga, sesungguhnya, seorang mukmin tidak punya alasan untuk berputus asa. Wallahu'alam.

Diary mawut (jangan dibaca gaes ntar toxic)

Kalo di cie in, di pasang2 in sama partner kerja, partner kuliah, temen sekelas, gue pasti senyum senyum sendiri. Bukan karena gue seneng sm yg dipasangin. Tapi gue seneng karena itu tandanya temen-temen anggep gue ada. Tanda kalau temen-temen sayang sama gue, perhatian, sengaja godain biar suasana jadi lucu  sengaja kayak ngebully tapi sebenarnya peduli. Rasanya jadi akrab sama mereka semua, jadi nyambung sm mereka semua, saat gue dipasang-pasangin gitu.

Dan semuanya jadi wagu alias aneh, sewaktu temen yg dipasangin itu tiba-tiba udah punya pacar. Atau tiba-tiba udah mau menikah. Sama orang lain. Gue merasa kehilangan. Bukan kehilangan orang yg dipasangin sm gue, bukan. Tapi kehilangan kelucuan dari temen-temen gue saat nge cie in. Dan gue kehilangan kehangatan yg gue rasain dari mereka, ketika se-memaksa itu masang2in gue sm doi. Dari gaya lah, cara pemikiran lah, yg gak sengaja diketemuin lah, yg kesamaan alis, mata, bibir, sampe kesamaan bulpen aja jd ribut dan dijadiin bahan nge godain. Which is semua itu bagi gue lucu dan menghibur. Bikin gue gak spaneng beberapa saat! Sabodo teuing dengan pandangan doi yang dipasangin sm gue. Tapi nyatanya gue seneng, bukan karena hal yg dipikirkan orang-orang. Senyum tersipu gue bukan tertuju buat siapa-siapa. Murni karena gue seneng diperhatiin publik, dengan cara apapun.

Ah gue, sejahat ini ngemanfaatin perasaan orang lain buat kesenengan gue sendiri. Lantas mungkin kehampaan ini, yang selalu muncul setiap ditinggal nikah atau pacaran sm doi, ini hukuman buat gue yg masih seenaknya sendiri, mikirin keuntungan sendiri, dari lingkungan sekitar kali ye?

Harusnya gue itu benci kalau di pacak2 in kalau gue gak mau ngasih doi harepan, bukannya senyam senyum kek gadis kasmaran krn kesenengen diperhatiin sm publik waktu diciein seangkatan, ye gak. Yah. Harusnya gue lebih logis dan gak kebawa baper duluan lah.

Karma does exist.

Habis gini, mungkin gue yang akan selalu tertinggal sendiri, karena gak ada yg bisa sama gue yg tergila gila sm euforia publik. Mana bisa cinta tetap tulus kalo terus2an dibuat pameran? Mana bisa hubungan akan langgeng kalau semua kudu disiarkan? Sadar dong gue, plis jadi lebih baik lagi ya sist. Thanks a lot buat kesadarannya hari ini. Lo pasti bisa!