Sabtu, 11 April 2020

Tujuan Paling Akhir

Apa kamu mengenal orang-orang yang merindukan kematian? Apa kamu kenal rasanya rindu bertemu dengan Rabbi, sehingga tak ingin rasanya hidup lebih lama? Apa kamu pernah tahu bahwa para ulama begitu mendambakan kematian karena hidup terlalu lama membuat mereka takut jika dosa juga semakin banyak?

Bukannya takut mati.
Bukannya takut kehilangan dunia ini.
Karena kita semua sedang menuju tujuan paling akhir kita, yaitu mati, dimana disitulah hidup kita dimulai lagi, hidup yang jauh lebih kekal abadi, di akhirat nanti. 

Bagi mereka yang rindu kematian dan menjadikan akhirat tujuan akhirnya, bagi mereka, ternyata hidup seluruhnya adalah ujian. Ketika mereka gembira, mendapatkan banyak harta rejeki, bertemu dengan teman-teman baik, memperoleh anak-anak yang sholeh dan sholehah, mereka tidak sombong. Karena kegembiraan bagi mereka adalah ujian syukur. Mereka justru merasa diuji lewat hal-hal baik, melihat apakah mereka bisa bersyukur, bisa kah mengakui bahwa semua itu atas karunia Allah bukan atas usahanya semata, mampu kah tetap menghamba kepada Allah dengan memperbanyak ibadah dan dzikir. Itu kegembiraan bagi mereka. 

Dan bagi mereka, seluruh ujian dalam hidup adalah cara mereka menuju tuhannya, yaitu Allah SWT. Ketika keadaan menjadi serba sulit, apakah mereka hanya mengeluh atau bersabar atas cobaan itu. Bisa kah mereka melewati ujian kesabaran? Akan kah mereka mengutuk takdir yang begitu buruk, nampaknya tidak. Mereka tahu, kesulitan adalah ketukan lembut Allah kepada mereka, cara Allah menyapa hamba-Nya. Allah Yang Maha Kuat sedang ingin dikeluh kesahi oleh hamba-Nya yang sedang sulit. Allah ingin didatangi oleh mereka-mereka yang terpilih, meminta tolong, memohon ampun, dan minta dibukakan jalannya menuju kemudahan. 

Maka, bisa kah kita bercermin kepada mereka? Melihat semua yang terjadi atas kita sebagai ujian dari Allah, ujian syukur dan ujian sabar, mudah saja. Jika rasanya hal-hal baik yang datang, maka bisa kah kita tetap ingat dan kembali pada Allah? Jika rasanya hal-hal buruk saja yang terjadi, maka sanggup kah kita tetap percaya dan minta pertolongan ke Allah semata? Lalu selalu ingat bahwa tujuan akhir kita adalah di akhirat, tidak di dunia. Maka semua hal, baik atau buruk, jika kita anggap ujian dan kita lulus melewatinya, tidak ada hal lain yang kita harapkan selain akhirat yang indah, bukan?

Coba kita terapkan. Kalau kita saat ini kuliah tingkat akhir dan berjuang bikin skripsi, maka jangan jadikan skripsi dan wisuda sebagai tujuan, tapi jadikan akhirat sebagai tujuan akhir kita. Maka, jika suatu hari dirasa dosen mempersulit kelulusan kita, tak akan menjadi masalah lagi, toh itu urusan dunia dibuat mudah saja, tinggal bagaimana kita bisa sabar dan tetap berbaik sangka pada dosen tersebut. Jika bisa lulus ujian sabarnya, maka bayangan akan akhirat yang indah menjadi semakin nyata. Begitu pun sebaliknya, jika dirasa kelulusan kita nampak sangat mudah, maka apakah kita bisa mensyukurinya, tidak lantas berbangga diri merasa lulus cepat ini karena usaha kita semata, karena yang berkuasa membuat kita lulus adalah Allah semata, dan kita wajib mensyukurinya. 

Juga apabila kamu saat ini masih galau menjemput jodoh, memilih abc tidak pernah ada yang cocok, ingat lah tidak ada pasangan yang sempurna di dunia ini. Jangan begitu pusing memilih sampai tidak ada lagi pasangan tersisa untukmu karena engkau begitu pemilih. Karena jika suatu hari nanti pasanganmu baik, maka itu ujian syukur bagimu. Tapi jika pasanganmu menjadi buruk, maka itu ujian sabar bagimu. Tujuan akhirnya masih surga, kan? Baik nanti pasangan kita jadi kegembiraan atau kesedihan, jika kita dapat menyikapinya dengan benar, insyaallah ganjarannya tetap surga. Aamiin ya rabbal alaamiin. 

Ini memang berat. Ujian syukur maupun ujian sabar, sama-sama beratnya. Ingat lah tujuan akhirnya, surga, surga, dan surga yang mengalir indah dibawahnya sungai-sungai dan para bidadari cantik dan semua makanan enak ada di surga, maka semoga kita jadi semangat dalam menjalani hidup kita, hal buruk maupun baik, sama saja bukan? Karena yang penting tujuan akhirnya: surga! Insyaallah, dengan izin Allah SWT. 

Senin, 07 Oktober 2019

Kualitas Dunia atau Akhirat?

Bismillahirrahmanirrahim..

Selamat pagi, semuanya!
Sudahkah kita memulai sesuatu dengan bismillah, dan meniatkan semuanya untuk beribadah kepada Allah?
Mulai pagi ini, mari kita awali setiap kegiatan kita dengan bismillah ya. Kenapa? Agar setiap amalan kita dapat berkualitas akhirat, agar segala perbuatan dicatat sebagai hal yang baik, dan diterima oleh Allah SWT.

Bagaimana dengan kualitas dunia? Insyaallah, jika Allah saja mengakui perbuatan kita, maka apalagi hamba Allah bukan? Jika tulus dalam setiap perbuatan kita, masyarakat akan menerima dan merasakan kebaikan itu.

Lalu, mana dulu, kualitas dunia atau kualitas akhirat? Tentu, jika bisa keduanya akan lebih baik. Tapi kalau harus memilih salah satu, maka, pilihannya tentu saja kualitas akhirat. Karena, hidup di dunia hanya sementara dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Apa yang kita jalani saat ini mungkin akan berakhir saat kita mati, mungkin 60 tahun, mungkin sampai 90 tahun yang itu pun sudah lama sekali rasanya. Akan tetapi, saat di akhirat nanti, menanti di padang mahsyar saja rasanya seperti 5000 tahun, lho! Belum dengan fase-fase akhirat yang lainnya. Maka dari sini, kita harus sadari bahwa dunia itu adalah benar-benar-benar sebentar.

Saat kita lahir, kita lahir dengan tidak punya apa-apa selain tubuh dan potensi di dalamnya, yang semuanya adalah pemberian Allah SWT sang pencipta. Pun, saat kita wafat nanti, hanya tubuh kita yang dibungkus dengan selembar kain kafan, tidak ada yang lain. Hanya saja kita juga membawa catatan amal kita, yang baik dan yang buruk, serta ada 3 hal yang sifatnya terus bertambah nilainya walaupun kita sudah di alam kubur yakni amal jariyah: ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, dan doa anak kita yang sholeh/ah.

Lantas, semua yg kita usahakan di dunia, tidak ada satu pun yang kita bawa. Harta, takhta, wanita/pria, dan anak-anak.. semua kita tinggalkan dan sudah tidak ada lagi nilainya di hadapan Allah SWT. Maka, semua kesukaran yang kita alami untuk meraih dunia, semua kenikmatannya berakhir tepat saat kita menghembuskan napas terakhir kalinya. Bahkan mungkin, sudah berakhir sejak kita terbaring sakit dengan selang-selang di rumah sakit, divonis koma atau mati batang otak. Naudzubillah min dzalik!

Clue-nya di Al Quran sudah jelas, bahwa manusia dan jin itu diciptakan tidak lain untuk beribadah kepada Allah SWT. Artinya, saat sesuatu dilakukan bukan untuk beribadah kepada Allah, maka itu menyalahi fitrah dan otomatis tidak akan diterima di sisi Allah SWT.

Bayangkan, sama-sama bekerja, sama-sama lelah fisik dan pikiran, sama-sama membuang waktu, dan sama-sama berkualitas, tapi karena si A bekerja untuk uang dan B bekerja untuk menolong agama Allah, nilai pekerjaan mereka menjadi sangat berbeda di sisi Allah SWT.

Si A, bekerja untuk uang semata. Pekerjaannya berkualitas dunia, tentu saja. Namun tidak ada kualitas akhiratnya. Baik, namun sia-sia. Mendapat uang, namun tidak mendapat pahala.

Si B, bekerja untuk menolong agama Allah. Pekerjaannya berkualitas dunia, bisa jadi. Namun pasti berkualitas akhirat, karena dia pun sedang beribadah dengan berdakwah. Apakah si B mendapatkan uang dari pekerjaannya? Bisa jadi, jika ia memang melakukan pekerjaan di sebuah perusahaan. Dan dia melakukan pekerjaannya dengan baik sekali, agar menjadi contoh pegawai yang lain, dan tetap berusaha menjadi muslim yang taat, agar orang-orang di kantor menjadi respect terhadap islam.

Nah, bagaimana agar setiap pekerjaan kita dapat berkualitas akhirat, tambah lebih baik lagi jika dobel dengan kualitas akhirat ya?

Mudah, kok! Tinggal luruskan saja niatnya, untuk Allah, untuk menolong agama Allah, untuk memperbaili citra islam, untuk mengajak orang lain mempelajari islam, atau benar-benar melakukan pekerjaan jihad di medan perang. Hehe, ekstrim sekali sih ya kalau sampai ke medan perang.. tapi ada kan pekerjaan seperti itu.. menjadi tenaga medis dalam peperangan, bagian persiapan logistik, bagian media..

Misalkan kita seorang penulis, maka saat kita menulis yang baik-baik, usahakan tulisan kita ini akan menolong agama Allah yakni agama islam. Mungkin dengan menyertakan ayat-ayat Allah di sudut tulisanmu, mungkin di dalam kata pengantar sebuah buku, atau mungkin malah menuliskan hal-hal yang bertemakan islam.

Ingat, saat menulis, jangan diniatkan agar nama kita terkenal semata. Agar nama kita diingat? Tidak tidak. Tentu saja dengan menulis, itu bonusnya, nama penulisnya akan diingat selama bukunya masih dibaca. Tapi, niatkanlah, menulis agar ilmunya abadi, agar ilmunya tidak berhenti di kita. Kalau menulis hal baik, agar kebaikan tidak berhenti di kita. Tulisan itu sebagai sarana dakwah juga, ketika kita menurunkan ilmu yang Allah berikan ke kita, orang lain bisa mendapatkan ilmunya lewat tulisan kita. Begitulah, sehingga tulisan kita, menjadi berkualitas dobel, dunia serta akhirat.

Semuanya pekerjaan kita harus berangkat dari niat, yang bisa kita terapkan ke pekerjaan apapun. Pun, dengam membaca bismillah sebelum memulai pekerjaan. Jika takut lupa, maka bisa kita biasakan ucapkan bismillah setiap pagi hari sebelum memulai aktivitas, dengan berdoa kepada Allah agar segala perbuatan kita hari ini dapat diterima di sisi Allah SWT.

Minggu, 06 Oktober 2019

Re-hecting "menjahit lagi"

Hai, semuanya!
Saat ini usiaku 23 tahun. Ketika teman-temanku sudah banyak yang bekerja bahkan menikah dan punya anak, aku masih sekolah dan belum selesai-selesai. Hehe. Doakan ya, semoga tahun depan sudah bisa lulus. Aamiin.

Sebenarnya sejak kecil, aku tidak tahu ingin jadi apa. Aku sesekali bilang kalau aku ingin jadi dokter. Tapi ternyata sebetulnya bukan. Itu karena ayahku seorang dokter dan beliau sering bilang aku anak pintar dan bisa jadi dokter. Akhirnya, aku pikir aku bisa menjadi dokter. 

Saat SD, impianku menjadi siswa teladan saja. Dan hal itu tercapai saat aku kelas 6 SD, aku berhasil menjadi juara harapan III siswa teladan se-Jawa Timur. Walau hanya lingkup provinsi, ya tapi aku sudah sangat senang.

Setelah lulus, aku masuk pondok. Cita-citaku berubah dan saat itu aku tiba-tiba ingin ke luar angkasa. Tiap hari aku mempelajari bentuk-bentuk rasi bintang yang terlihat dari lapangan basket di sekolah. Aku mempelajari bagaimana mencari arah timur, barat, dan tenggara dari penduduk langit. Sampai aku begitu mengagumi bulan. Saat SMA, aku memiliki nama pena, Aktivis Rembulan.

Kemudian saat kuliah, aku pertama kali mendapatkan bangku kuliah di Universitas di Jogja, jurusan pertanian. Berawal dari rasa suka ku dengan bunga2 an, aku nekat memilih jurusan disana. Aku langsung diterima saat sbmptn, alhamdulillah. Aku menjalaninya dengan bahagia. Kupikir, karena aku suka menanam, ternyata karena aku suka keindahan. Begitu indah taman-taman jika dipenuhi tanaman yang terawat dengan baik, pikirku kala itu.

Namun, karena orang tuaku hanya ingin aku menjadi dokter, aku mengambil tes kuliah lagi. Hingga akhirnya kini jadilah aku yang sekaranf. Sebuah identitas bernama koas. Ini sudah tahun kelima aku bersekolah di kedokteran. Alhamdulillah, aku juga menemukan hal yang aku sukai belakangan ini. Aku suka sekali tindakan-tindakan kedokteran, terutama di ruang operasi. Tentang bedah, jahit menjahit dan iris mengiris *bahasa kerennya insisi. Hihi.

Ngeri ya? Kalau suka, tidak jadi ngeri kok.
Ternyata, hal ini ada hubungannya juga dengan keindahan serta kerapian, yang baru aku sadari sekarang. Aku memikirkannya sejak lama, bagaimana mungkin aku suka melukai orang begitu ya dengan pembedahan. Hehe. Ternyata, setelah dioperasi, tubuh yang awalnya tidak normal, bs menjadi normal kembali. Awalnya ada benjolan, lalu menjadi hilang benjolannya, dan bentuknya menjadi indah lagi. Apalagi kalau kita melakukan pembedahan dengan hati-hati, saat mengirisnya di arah yang lurus, kemudian menjahitnya dengan rapi, akan menghasilkan belas luka yang bagus juga.

Aku kok jadi menghubung-hubungkan sesuatu ya, hehe.

Beberapa hari terakhir ini, aku juga jadi hobi menjahit hal lain, yaitu baju dan tas yang sudah lama robek. Ternyata, menjahit itu menyenangkan sekali untukku, tidak hanya di ruang operasi saja.. kalau nanti aku tidak jadi dokter bedah, aku mau jadi penjahit saja ah... hehe. Semoga kita semua selalu bahagia dengan pekerjaan kita yaa... aamiin

Ini dia salah satu hasil jahitanku yang paling sulit, aku belum bisa yang pakai mesin, tapi tetap indah dan rapi kan yaa

Kamis, 03 Oktober 2019

Menangis Saja Dek

Aku tahu kamu hari ini melewati waktu yang berat, hatimu luka, pikirmu lelah, dan jiwamu kosong.
Tanpa kamu perlu cerita, tatapanmu memberi tahuku segalanya.
Menangis saja, dek.
Aku akan menerimanya.
Aku janji tidak akan menertawai muka lucumu ketika menitikkan air mata.

Hari-hari yang berat akan berlalu.
Hal-hal yang baik telah menunggu.
Beban beratmu bisakah kau bagi saja denganku?
Menangis saja, dek.
Aku lebih baik kalau kamu menggerutu.
Daripada diam namun kau menyimpan sejuta kelu.
Mengilukan hati saat harus melihatmu begitu.

Coba saja, pahamilah dirimu yang rindu.
Coba saja, terima segala kekesalanmu.
Kau boleh marah tapi aku tahu kau tak pernah bisa melakulannya, kan?
Sudah ya tidak apa-apa.
Kau bisa menangis di depanku.
Kau boleh menangis tanpa malu.

Minggu, 15 September 2019

Pilihanmu Penyesalanmu

Kita setiap hari memilih dengan begitu mudah tanpa kita sadari, hingga pilihan-pilihan sulit yang menyita seluruh energi.
Karena setiap hembusan napas kita adalah pilihan. Memilih untuk melangkah atau berhenti. Memilih untuk berbicara atau bungkam. Juga memilih untuk bekerja atau diam saja. Mulai membuka mata, melangkahkan kaki, membuka mulut dan bersuara. Kita memilih untuk melakukannya atau tidak melakukannya.

Karena memilih adalah rutinitas. Sedari kecil kita melakukan hingga seperti kebiasaan. Sehingga tidak terasa selama hidup kita sudah milyaran kali melakukan proses memilih.

Maka, seharusnya tidak perlu khawatir menyesalinya. Karena memilih tidak karena kita ingin menang. Tapi memilih karena kita ingin belajar mengenai konsekuensi dari sebuah pilihan. Dan belajar memahami rasa, rasanya puas terhadap suatu pilihan, dan rasanya menyesal.

Jika kita nisbahkan pilihan kita pada skenario Allah SWT, maka kita akan tenang. Di setiap hembusan napas kita serahkan pada Allah SWT, tentang apapun, melakukan istikharah setiap hari. Istikharah untuk segala urusan. Urusan perut, urusan studi, urusan rejeki, bahkan sampai urusan jodoh.

Mari istikharah, agar tidak menyesal :)

Senin, 08 Juli 2019

Ragu, siapa rugi?

Menaruh ragu, siapa yang rugi, tidak berkurang yang diragukan, tapi hati sendiri yang kepikiran.

Menaruh dengki, siapa yang rugi, bukan memburuk citra yang didengki, melainkan sifat sendiri yang semakin tak terpuji.

Meluapkan marah, siapa yang rugi, tak akan hancur yang dimarahi, tapi akal sehat yang 'kan mengeras dan tercela sendiri.

Jika saja bisa lebih sabar, maka Allah sendiri yang membersamai.

Sabtu, 06 Juli 2019

Menghindari argumen

"Nyata, setiap orang punya cara pandang yang berbeda-beda."

"Namun, perbedaan itu indah, jika kita menerimanya dengan baik."

"Jika semuanya ingin menang, akan terjadi adu argumen. Maksudnya adu argumen yang akan sia-sia."

"Karena kita bertemu, untuk bersama menemukan kebenaran, dan saling memberi manfaat. Bukan untuk sendiri menjadi benar."

Aku pernah bertemu dengan berbagai kamu dengan beragam karakter, berbeda latar belakang, tapi kita satu tujuan, yaitu kebenaran. Kebenaran agar terwujud keadilan agar semua dapat hidup bahagia. Kalau aku kekeuh dengan nilai kebenaran yang kuyakini, namun menafikan seluruh nilai kebenaranmu, tanpa perlu sedikit pun peduli, maka apa artinya aku (merasa) benar sendirian?

Sekejap, hanya bangga akhirnya aku yang diakui semua orang sebagai paling benar. Merasa semua dalam diriku adalah kelebihan dan kekurangan adalah selain diriku. Mengacuhkan nilai benarmu tanpa mau mendengar. Berakhir sendirian. Karena kamu merasa berbeda dengan nilaiku. Semua orang merasa berbeda denganku. Yaitu aku, namaku keras kepala, namaku individualis, jenisku idealis yang apatis.

Sebaiknya kita, yang diciptakan sebagai manusia ini, yang diniscayai sebagai makhluk sosial di bumi, menghindari sifat keras kepala ya!

Sifat-sifat yang akhirnya hanya memperbesar ego kita, melarut-larut kan argumen kita yang tidak perlu, saling ngotot pada pendapatnya masing-masing, lantas buang-buang waktu, menjauhkan kita dari urusan yang sebetulnya lebih penting. Yakni mencapai tujuan kita, mencapai mimpi kita, yang lurus dan benar.

Lalu, apa caranya, salah satu ide tidak buruk yaitu untuk bersikap masa bodoh. Masa bodoh yang baik tentunya. Masa bodoh pada perlawanan argumen orang atas nilai benar yang kita anut. Kita pilih A. Jika orang lain memilih B lantas menjelek-jelekkan pilihan A kita, melawan kita dengan argumen-argumen kuatnya, mencoba membuat kita kesal dan memancing kita untuk melawan, maka pilihan kita: menanggapi atau tak acuh?

Tak usah bawa peduli terlalu larut atas penilaian orang pada keyakinan kita terlihat lebih baik, bukan? Komentar orang tidak akan mengubah apa yang kita yakini, kalau kita tidak ambil pusing. Tuduhan orang juga tidak akan mengubah kebenaran yang sesungguhnya, karena Allah SWT yang menjamin itu. Kita yakini islam, jika orang mencemooh islam, jika mereka menyudutkan dan memfitnah islam, maka sungguh, islam tidak lantas menjadi kesalahan karena begitulah adanya islam. Kita maklum kan saja orang-orang yang tidak tahu kebenaran yang kita yakini itu, dengan juga tidak lantas menghancurkan nilai kebenaran mereka dengan adu argumen, dengan cara yang tidak baik pula. Karena Allah SWT sendiri yang akan membantu kita untuk menunjukkan kebenaran kepada manusia.

Sama! Jika kita yakin kita orang baik, suatu saat orang datang memperburuk citra kita, menyalahkan dan menyudutkan kita atas kesalahan kecil, menjatuhkan pilihan diri kita.. jika kita mencoba biarkan saja, kita serahkan saja kebenaran yang dia yakini itu, tidak terpengaruh dan tetap berbuat baik seperti adanya kita, selalu menunjukkan sisi baik diri kita, maka sungguh, tidak ada yang bisa merusak nilai baik itu kecuali diri kita sendiri. Andai saja kita terpancing, membalas, lalu emosi serta melakukan kemarahan yang memalukan, maka sedih sekali bahwa tanpa sadar kita sendiri yang merusak citra diri kita.

Mari hindari argumen, saving time for precious time, and our heart please be strong!

Jumat, 21 Juni 2019

Memaafkan yang Lebih Sulit

Memaafkan yang lebih sulit dari meminta maaf. Karenanya Allah menyuruh hambaNya saling memaafkan, bukan saja saling meminta maaf. Karena memaafkan butuh keikhlasan yang amat suci, sedangkan meminta maaf cukup dengan keberanian dan tidak terlalu peduli. Ah, yang penting aku sudah minta maaf kok!

Maka bagaimana sulitnya memaafkan itu?

Tidak pernah bisa kita bayangkan sendiri. Bagaimana seorang anak yang divonis dokter menderita HIV, karena ibu yang melahirkannya menderita HIV juga. Dimana anak ini akan seumur hidup bergantung pada obat-obatan, jarum suntik, dan petugas kesehatan. Bukan karena kesalahannya, tapi akibat kedua orang tua nya berbuat kesalahan di masa lalu. Walau begitu menderitanya kedua orang tua anak tersebut, setiap hari semakin merasa bersalah karena telah mewariskan penyakit biadab itu kenapa anak mereka. Betapa semakin lama perasaan bersalah itu menggerogoti kesehatannya. Setiap waktu mereka diberi kesempatan, mereka ucapkan maaf setulus-ikhlas kepada anak mereka yang malang.

Tapi, apakah mudah bagi anak itu untuk memaafkan orang tuanya?

Nyata tidak setiap anak mampu. Tidak setiap anak diberi keluasan hati untuk memaafkan, kelapangan jiwa untuk menerima, dan rasa bersyukur karena meski begitu dia beruntung dibesarkan oleh kedua orang tuanya.

Begitu sulitnya memaafkan, jika ego kita terlalu besar. Begitu sulitnya memaafkan, bukan karena kesalahan orang lain yang terlalu besar.

Setiap permaafan itu bergantung pada bagaimana seseorang berhasil mengalahkan egoisme nya sendiri. Dan hanya Allah Yang Maha Esa, Maha Penolong, dan Maha Membolak-balikkan Hati. Selain kita berusaha mengikhlaskan, kita berdoa kepada Allah SWT agar dilapangkan. Insyaallah. Insyaallah.

Jangan Marah, kenapa?

Jika kita pikir, perasaan marah, dengki, benci, dan dendam kita pada seseorang itu memuaskan dan membuat semuanya jadi baik buat kita, menurutku tidak. Justru semua itu dapat menghancurkan segalanya yang kita capai.

Allah sengaja melarang hambaNya untuk marah. Laa taghdhab! Dia pula menjanjikan membersamai bagi hambaNya yang bersabar. Innallaha ma'ash shabiriin. "Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar."

Apa hikmahnya?

Sesungguhnya perasaan benci, sikap marah yang tidak terkendali, dengki, dendam yang terlalu lama, hasilnya tidak ada selain kehancuran. Perasaan-perasaan yang timbul karena tidak lain dari ego seseorang, hanya merubah hal yang kurang baik menjadi lebih buruk, bukannya tambah baik.

Dalam ilmu kesehatan yang ku tahu, perasaan yang muncul akibat seseorang mengedepankan ego dan emosinya terlebih dahulu, akan memicu suatu zat kimia adrenalin. Adrenalin yang akan memacu jantung untuk memompa lebih cepat. Tubuh jadi berkeringat. Penglihatan jadi lebih tajam. Berliur banyak. Dan tiba-tiba terasa di dada berdebar-debar. Debar yang kita anggap suatu reaksi keberanian kita untuk memenangkan ego tersebut, nyatanya lambat laun akan merusak dinamika normal kerja organ tubuh kita.

Saat jantung memompa lebih cepat, otot-otot jantung membutuhkan oksigen lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat, akibatnya pasokan oksigen menipis. Sebagian oksigen berubah menjadi radikal bebas sehingga memicu sel otot jantung untuk menghasilkan zat peradangan. Zat peradangan ini nantinya akan merusak satu demi satu sel jantung yang dipaksa bekerja berat, dengan memompa lebih cepat, dan lambat laun semakin rusak, persis seperti mesin yang telah aus.

Tidak sampai disitu, karena darah dipompa terlalu cepat, untuk mengalirkan oksigen ke seluruh bagian tubuh, maka oksigen tidak dapat sepenuhnya disalurkan. Hal ini berakibat sel-sel di beberapa bagian tubuh kekurangan oksigen, kekurangan oksigen membuat sel tidak dapat bertahan hidup. Selayaknya kita yang cepat mati dalam 3 menit jika tidak bisa bernapas atau tidak mendapat oksigen.

Maka, apa hikmahnya?

Karena marah membuat sel-sel di tubuh kita rusak. Selain itu, marah membuat silaturrahmi kita dengan saudara kita menjadi terputus. Marah juga merusak nilai diri kita di hadapan orang lain dan di hadapan Allah SWT. Maka marah, serta kebencian, sebaiknya kita hindari. Dengan selalu rendah hati. Selalu jujur pada diri kita sendiri kalau setiap orang pasti pernah berbuat salah dan kurang, kita pun pernah merugikan dan menyakiti orang lain. Hanya bagaimana kita menyikapinya dengan sifat yang baik. Dengan bersabar. Dengan toleransi. Dengan pemahaman yang baik. Insyaallah.

Jumat, 17 Mei 2019

Segalanya karena Allah saja

Dia yang di dunia ini tekun berdzikir pada Allah dalam setiap napasnya. Seorang tabi'in di masanya. Ia ucapkan "Allah" di tiap tarikan napas lembut, lalu dia ucapkan "Huwa" tiap kali napasnya berhembus. Menjadi banyak rangkaian "Huwallah" yang artinya "Dialah Allah". Sungguh sebuah ritme napas yang amat indah. Karena ia bersamai tiap siklusnya dengan ingatannya pada Rabbnya. Menunjukkan betapa seluruh hidupnya hanya untuk Allah semata. Diniatkan lillahi taala. Penghambaan tertinggi yang luar biasa yang bisa kita contoh jika Allah mengizinkan, insyaallah.

***

Hasbunallah wa nikmal wakil.
Cukup bagiku Allah, sebaik-baik penolong.

Namun ada apa dengan diri kita, mengapa begitu jauh dari merasa hidup ini dengan Allah. Setiap langkah yang kita ambil, dan  pikiran selalu terpenuhi dengan tanya-tanya seperti nanti makan apa, nanti pergi ke mana, nanti belanja sama siapa. Hanya sedikit lafadz Allah yang kita lantunkan, minimal 5x setiap habis sholat. Tapi apa iya?

Barusan kulihat saudara langsung berdiri, melipat sajadah, dan beranjak dari tempat sujud begitu salam ke kanan dan salam ke kiri. Lalu mengusap wajah mengatakan amin. Saudara terburu-buru mengambil alas kaki. Keluar dari tempat sholat. Dan saudara sudah ada di kantor tempat saudara bekerja, di kelas tempat saudara mencari ilmu, dan di studio tempat saudara berkarya. Tempat dimana pikiran saudara begitu fokus oleh nikmatnya kesibukan hari ini.

Apakah saudara bahkan ingat untuk meniatkan kesibukan itu lillahi taala? Untuk Allah semata. Atau semata untuk membunuh waktu, mencapai target, dan menghimpun pundi-pundi rejeki?

Atau akankah kita ubah arah niat ini, menjadi untuk Allah? Bekerja utk menafkahi keluarga, sekaligus memberi manfaat bagi sesama, semata mencari ridho Allah. Sederhana kan saja, tapi bersambung cara berniatnya.

Kawanku, ia seorang loper koran. Lantas bagaimana cara dia meniatkan ini lillahi taala? Ternyata, baginya, pekerjaan ini ia niatkan untuk mengabarkan berita baik dan buruk dunia kepada pembeli korannya. Dia berharap pembeli dapat mengambil hikmah dari berita-berita tersebut, dimana semuanya atas kehendak Allah SWT. Pembeli tersebut sejenak akan berpikir betapa Maha Kuasanya Allah SWT dalam mengatus seluruh kejadian di dunia ini. Dan hal tersebut akan meningkatkan rasa keimanan pembaca kepada Allah SWT.

Kemudian guruku, seorang guru matematika di kelasku. Bagaimana ia meniatkan ini dengan sederhana? Ia ingin, dengan kuliah matematikanya, seseorang mampu berhitung. Sehingga keahlian berhitung, berkali, dan membagi ini dapat membantu seseorang untuk me-manaje waktunya untuk membagi waktu beribadah, bekerja, dan bersosialisasi sehingga efektif dan efisien. Sehingga hal tersebut dapat menjadi sarana mempermudah ibadah seorang hamba. Berkat pengajaran matematika yang diberiksan oleh guruku. Masyaallah.

Maka ayo niatkan, sekecil apapun, sesimpel apapun yang kita lakukan itu semata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Kamis, 16 Mei 2019

Berdoa tapi putus asa

Berdoa, setiap hari, dicatati oleh nya satu persatu, doa yang diajarkan oleh ustadz di daring-daring kajian yutub. Dia tempel catatannya, di tembok, tempat dia menghadap kiblat saat sholat. Supaya dia baca, supaya dia ingat untuk melantunkan doanya, terutama dalam setiap sholat, dalam setiap sujud dan takbirnya.

Allahuakbar.

Dia begitu putus asa. Sampai semua doa para sahabiy dan tabi'in dia tirukan. Sampai-sampai asmaul husna dia sebutkan satu persatu secara serabutan. Dia tergesa-gesa, mungkin juga ada ketakutan. Karena mungkin hidupnya tidak akan lama lagi. Napasnya terkikis oleh ketidakberdayaan dirinya di dunia yang keras ini.

Dia catat doa Bilal bin Rabbah. Dia tulis doa Abu Bakar as Shiddiq. Dia hapalkan doa rutin Muadz bin Jabbal. Dia tirukan. Dia coba beri pengharapan dalam setiap tutur doanya. Dia baca di setiap sujudnya. Dia lantunkan doa diantara dua sujud, perlahan, pelan-pelan, supaya tidak terlewat dari seluruh item doa di dalamnya.

Dia tarik napas lemah di setiap permulaan doa. Dia hembuskan napas lirih-lirih di setiap pengakhiran. Begitu lemah. Tiada daya yang dimilikinya saat ini selain perkataan doa pada Rabb-Nya. Begitu selama ini yang dipikirkan oleh hamba tersebut.

Hamba ini rajin sekali berdoa. Berharap banyak kebaikan dari doa-doanya. Tapi sebatas itu. Dia merasa tidak berdaya hingga berdoa pun dia terlihat sangat putus asa. Ikhtiar nya berhenti di doa. Adakah dia mencoba bangkit? Adakah dia merasa bersemangat setelah setiap doa?

Maka, dapatkan kita temukan hikmah dibaliknya?

Betul, jika kamu berpikir dia kurang percaya diri. Dia sangat bergantung pada Rabbi, tapi dia tidak percaya Rabbi nya adalah cukup baginya untuk mem backing dia dalam hidup ini. Rabb nya lah yang akan memberi dia daya dan upaya. Rabb nya lah yang menyuruhnya untuk tidak pernah putus asa. Rabb nya yang suruh hamba untuk berusaha semaksimal, dengan semangat jihad, dan niat lillahi ta'ala. Sehingga hasil dari upaya seorang hamba, tidak boleh sekali-kali diukur dari penilaian manusia.

Hasil jelek, mutung. Upaya keras, hasil upah tidak sebanding, mengeluh. Belajar keras, ujian sulit, nilai tidak lulus, langsung putus asa. Bukan sayang, bukan seperti itu ikhtiar dalam setiap doa. Tapi tetap semangat, tidak mengukurnya dari standar manusia. Karena niat yang lillai ta'ala, seharusnya mengantarkan dia dalam pemahaman, bahwa Allah yang akan menghargai usaha kita dengan ganjaran yang paling adil. Tidak harus di dunia, tapi Allah simpan untuk di akhirat kelak. Dengan iming-iming investasi surga, sesungguhnya, seorang mukmin tidak punya alasan untuk berputus asa. Wallahu'alam.

Diary mawut (jangan dibaca gaes ntar toxic)

Kalo di cie in, di pasang2 in sama partner kerja, partner kuliah, temen sekelas, gue pasti senyum senyum sendiri. Bukan karena gue seneng sm yg dipasangin. Tapi gue seneng karena itu tandanya temen-temen anggep gue ada. Tanda kalau temen-temen sayang sama gue, perhatian, sengaja godain biar suasana jadi lucu  sengaja kayak ngebully tapi sebenarnya peduli. Rasanya jadi akrab sama mereka semua, jadi nyambung sm mereka semua, saat gue dipasang-pasangin gitu.

Dan semuanya jadi wagu alias aneh, sewaktu temen yg dipasangin itu tiba-tiba udah punya pacar. Atau tiba-tiba udah mau menikah. Sama orang lain. Gue merasa kehilangan. Bukan kehilangan orang yg dipasangin sm gue, bukan. Tapi kehilangan kelucuan dari temen-temen gue saat nge cie in. Dan gue kehilangan kehangatan yg gue rasain dari mereka, ketika se-memaksa itu masang2in gue sm doi. Dari gaya lah, cara pemikiran lah, yg gak sengaja diketemuin lah, yg kesamaan alis, mata, bibir, sampe kesamaan bulpen aja jd ribut dan dijadiin bahan nge godain. Which is semua itu bagi gue lucu dan menghibur. Bikin gue gak spaneng beberapa saat! Sabodo teuing dengan pandangan doi yang dipasangin sm gue. Tapi nyatanya gue seneng, bukan karena hal yg dipikirkan orang-orang. Senyum tersipu gue bukan tertuju buat siapa-siapa. Murni karena gue seneng diperhatiin publik, dengan cara apapun.

Ah gue, sejahat ini ngemanfaatin perasaan orang lain buat kesenengan gue sendiri. Lantas mungkin kehampaan ini, yang selalu muncul setiap ditinggal nikah atau pacaran sm doi, ini hukuman buat gue yg masih seenaknya sendiri, mikirin keuntungan sendiri, dari lingkungan sekitar kali ye?

Harusnya gue itu benci kalau di pacak2 in kalau gue gak mau ngasih doi harepan, bukannya senyam senyum kek gadis kasmaran krn kesenengen diperhatiin sm publik waktu diciein seangkatan, ye gak. Yah. Harusnya gue lebih logis dan gak kebawa baper duluan lah.

Karma does exist.

Habis gini, mungkin gue yang akan selalu tertinggal sendiri, karena gak ada yg bisa sama gue yg tergila gila sm euforia publik. Mana bisa cinta tetap tulus kalo terus2an dibuat pameran? Mana bisa hubungan akan langgeng kalau semua kudu disiarkan? Sadar dong gue, plis jadi lebih baik lagi ya sist. Thanks a lot buat kesadarannya hari ini. Lo pasti bisa!

Rabu, 03 April 2019

Perempuan yang sangat tegar

Aku menangis mengenang lagi kisahnya hari ini. Seorang perempuan yang amat kukenal kesabarannya. Tak ku sangka dia harus diuji dengan ujian seberat itu. Meski dia seorang perempuan yang dingin dan kaku, dibalik sifat pendiamnya, aku tahu beban berat apa yang dia pendam sendirian.

Tidak pernah bisa kubayangkan menjadi perempuan sepertinya. Dia kini seorang ibu dari beberapa anak yang sholeh dan membanggakan. Tapi kini ia juga seorang istri tua, setelah suaminya memutuskan menikah lagi dengan perempuan lain, di penghujung tahun kemarin. Tidak mungkin itu kabar bahagia baginya, itu seharusnya menjadi kabar sedih. Aku menerima ceritanya pun sedih, melihat dia tetap tegar dan sabar menyayangi anak-anak mereka, sekalipun kini cinta suaminya terbagi dua.

Dia bilang bahwa semoga ini semua jalan dia meraih surga. Dia bilang dengan tegar bahwa dia yakin ini lah bentuk sayang Allah padanya. Dengan menguji dia dengan ujian yang tidak banyak perempuan mendapatkannya. Menguji apakah dia benar-benar mencintai suaminya karena Allah? Atau hanya karena penilaian manusia nya kepada suaminya itu. Dia yakin jika bisa melewati semua nasib ini dengan baik, dia yakin akan ada kebaikan menantinya di depan sana. Sekalipun dia harus menunggu balasannya setelah tutup usia, dia dengan sabar menjalani semua ketetapan Allah pada hidupnya.

Ya Allah.. perempuan ini benar-benar tulus dan kuat. Dia bahkan menyembunyikan istri muda tersebut dari anak-anak mereka, atas perintah suaminya. Dia lakukan apa yang suaminya inginkan, demi mendapat ridho suaminya, meski itu sangat berat. Dia juga menyembunyikan kesepiannya, karena suaminya kini hanya pulang ke rumah 2 hari sekali bergantian dengan istri keduanya. Dia bermurah hati, tidak pelit berbagi kasih suaminya dengan istri muda, karena itu yang Allah perintahkan. Dia pun tidak tinggi hati dan minta pamrih lebih, sekalipun dia adalah istri pertama, yang sedari awal menemani suaminya sulit dan senang dalam meniti sukses seperti sekarang. Dia hanya ingin suaminya tetap ridho. Dia hanya memikirkan kebaikan untuk keluarga dan anak-anaknya. Dia lupakan perasaan dan hidupnya sendiri.

Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika aku, yang juga perempuan ini, akan bernasib sama sepertinya. Apakah aku akan tetap sabar dan ikhlas mencintai suamiku? Apakah aku akan tetap kuat untuk tidak menangis dan berkeluh di depan anak-anak suamiku? Apakah bayangan surga akhirat cukup untuk menghiburku, meskipun dunia terasa seperti neraka adanya?

Apakah aku, yang Allah kenalkan dengan perempuan itu, kini menyadari situasinya, bahwa aku harus lebih tegar dan kuat dalam hidupku yang ujiannya tidak seberapa?

Selasa, 02 April 2019

Perubahanmu mengubahku?

Aku sebenarnya bingung dengan apa yang kurasakan sendiri belakangan ini. Masih berkaitan dengan energi negatif ku, menghilangkan kepercayaan diriku, membuat fokus ku berpaling dari hal-hal baik, dan hanya memikirkan kemungkinan terburuk.

Seorang teman, yang dulu amat baik, yang dulu selalu tersenyum ketika bertemu, yang dulu hampir menangis karena takut kehilangan diriku. Tapi mendadak dia menjauh. Tanpa kutemukan apa yang salah dari hubungan kami akhir akhir ini. Dia sudah jarang mengajak ngobrol. Dia juga jarang tersenyum selebar dulu. Hanya tersenyum seperlunya yang penting sudah senyum kepadaku.

Dan karena aku sudah pesimistis, sudah minder dan malu dengan diriku sendiri, juga tak sanggup untuk mendekat dan menyapa dia kembali. Membuatku takut menghadapi kemungkinan kenyataan dibalik perubahan sikapnya akhir-akhir ini. Pikiran negatif bermunculan. Membuatku menuliskan ribuan baris kesalahan yang mungkin kulakukan terhadapnya tanpa sadar. Membuat hatiku merasa bersalah setiap hari. Menjadi hampa dan kosong. Sering memaki kondisi diriku dari hari ke hari. Tanpa berusaha mencari alasannya. Tanpa berusaha memperbaiki keadaannya.

Mungkinkah aku berubah semakin terpuruk setelah perubahannya bersikap padaku?

Atau mungkin aku yang dulu telah berubah buruk sehingga tidak satu pun orang mau berteman denganku?

Atau ini kah yang disebut ego setinggi tembok ku?

Energi negatif di tubuhku?

Sebelumnya aku meminta maaf karena judul postinganku kali ini sudah mulai ngelantur. Jauh sekali dari ekspektasi teman-teman yang mengenalku sebagai seorang perempuan, cantik, ceria, sering memberi semangat, punya energi ekstra, dan penuh dengan aura positif (?) Apakah kalian melihatku seperti itu?

Kali ini aku akan menceritakan, atau mungkin menggambarkan tentang energi negatif yang sebetulnya lebih banyak kumiliki, jika saja bukan Allah yang menguatkanku, jika bukan Allah yang melindungiku. Selama 5 tahun terakhir, selama aku studi di sini.

Setiap aku berkeluh kesah, dan itu hampir setiap saat, aku justru semakin sedih ketika akhirnya aku menyadari, aku cukup sering mengeluh. Dan terkadang aku sampai mengutuk diriku sendiri, menyalahkan diriku sendiri, sampai aku terlambat menyadari bahwa aku memang perempuan. Perempuan memang bisa saja diciptakan perasa, sensitif, kadang pun berlebihan menilai sesuatu dengan melibatkan perasaan. Tapi aku seperti hanya ada perasaan negatif yang menguras energiku setiap hari.

Aura negatif ku kadang sudah tak terbendung. Membuatku ingin menuliskannya di suatu tempat tapi ku urung. Setiap kali ku urung, ku simpan sendiri, hanya kuceritakan pada angin dan rerumputan, kadang hanya pada tembok yang membeku di tiap malamnya. Kadang aku teteskan air mataku, membawa cerita resahku mengaliri lantai-lantai yang dingin.

Aku merasa negatif. Dan aku merasa sendiri. Sulit untuk membagi resah dan khawatir ku kepada yang lain, sulit melihat bahwa pertolongan itu amat dekat, tapi tak pernah kuraih. Hari demi hari hanya mengutuk diri. Membuat setiap sendi dan lekukan nadi ini menjadi semakin negatif. Dan semakin buruk.

Ketika aku hanya fokus pada hal hal negatif dari setiap kejadian, aku merasa sangat perih. Aku hanya ingin menangis tapi aku malu terlihat lemah. Aku tidak tahan melihat orang akan meremehkan karena air mataku. Aku pun tidak tahan ketika orang lain menemukanku sebagai seseorang yang hanya cari perhatian dengan tingkahku.

Aku selalu bersedih saat aku tidak bisa. Kemudian aku menyerah karena aura negatif ku lebih berkuasa. Tidak ada lagi keinginan ku untuk berbenah karena kurasa itu akan sulit. Aku seolah tidak tahan dengan kesukaran yang sedikit. Aku cenderung melebih-lebihkan kekurangan dan menjadikannya alasan untuk berhenti berusaha dan mengusahakan. Apalah aku yang sekarang ini, tidak lagi punya amunisi, ambisi, atau bahkan sekedar motivasi. Cukup untuk menjadi 1 persen lebih baik pun tidak kuamini. Tidak ada lagi ide-ide positif dalam benak dan pikiran. Tidak ada lagi kepercaya dirian yang tertinggal di lubuk hati.

Entah apa yang sudah kulakukan selama 5 tahun terakhir ini. Hingga energi negatifku mendominasi. Mengikisi seluruh energi positif yang lama kupelihara hingga aku SMA dulu. Entah kesulitan apa yang kutemui dalam perjalanan 5 tahun terakhir ini. Hingga habis sudah ide baik di dalam hati. Habis sudah rasa syukur, rasa happy, rasa tenang, rasa percaya diri. Hanya terpupuk rasa putus asa, rasa sedih, rasa sesak, dan kecewa di dada.

Energi negatif telah menggerogotiku. Energi positif mungkin enggan kembali padaku. Hanya Allah tempatku berharap. Hanya menulis tempatku berkisah. Tak sanggup bersuara karena hanya akan keluar isak. Tak sanggup berbuat karena yang terjadi hanyalah maksiat.

Ampuni aku dan energi negatif ini, Ya Rabb!

Allahumma inni nas'aluka ridhoka wal jannah. Wa 'audzubika min sakhatika wan narr.